Ardhi Morsse Putra Sriwijaya

Putra Melayu Sriwijaya Berjuang Untuk Nusantara...!!!

Rabu, 23 Mei 2012

Kembali ke Dekon, Laksanakan Konsekuen Patriotisme Ekonomi

Ir. Sakirman (1963)


Penerbit: Yayasan Pembaruan, Jakarta 1964
Naskah asli diperoleh dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (Perdoi), Amsterdam, Belanda.

Laporan Tambahan tentang soal-soal ekonomi kepada Sidang Pleno ke-II CC PKI yang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central, di Jakarta tanggal 23-26 Desember 1963

Isi

I. Situasi Ekonomi yang parah akibat penyelewengan Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei
II. Memenangkan konfrontasi ekonomi terhadap “Malaysia”
III. Laksanakan garis Manipol di bidang perdagangan luas dan dalam negeri
IV. Atasi krisi beras
V. Atasi Kemacetan produksi dan komunikasi
VI. Tolak “Bantuan” dari manapun yang merugikan Indonesia
VII. Teruskan pembangunan berencana yang demokratis dan patriotik
***

Kawan Ketua,
Kawan-kawan Pimpinan, dan
Kawan-kawan lainnya yang tercinta,
Saya pertama-tama menyatakan persetujuan saya atas seluruh isi Laporan Politik Kawan Ketua yang telah disampaikan kepada Sidang Pleno Ke-II CC ini. Saya juga dapat menerima dan menyetujui sepenuhnya kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Pimpinan Partai selama periode antara Sidang Pleno ke-I dan Sidang Pleno ke-II.
Saya akan memberikan Laporan Tambahan yang berisi pada pokoknya perincian lebih lanjut mengenai soal-soal ekonomi, dengan memberikan perhatian khusus kepada beberapa segi perkembangan ekonomi sosial kita pada waktu-waktu belakangan ini.

I

SITUASI EKONOMI YANG PARAH AKIBAT PENYELEWENGAN PERATURAN-PERATURAN EKONOMI 26 MEI

Waktu 7 bulan adalah sangat pendek dalam sejarah, dan lebih pendek bagi konseptor-konseptor Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Para konseptor dan arsitek, begitu juga para pembela yang setia daripada Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei tidak pernah memimpikan bahwa Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang mereka gembar-gemborkan sebagai “peraturan-peraturan untuk melaksanakan DEKON”, hanya berumur 7 bulan, tidak lebih dan tidak kurang. Dan ini pun jika kita pakai ukuran-ukuran formil yuridis berdasarkan keterangan Pemerintah di depan Sidang Pleno DPR-GR tanggal 12 Desember 1963 yang baru lalu. Presiden Sukarno sendiri telah lebih dulu, yaitu dalam sidang PB FN pada tanggal 5-6 September 1963 yang lalu menyatakan pendapatnya dapat menyetujui keputusan Sidang Pleno PB FN itu untuk mengubah Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. 

Belum pernah terjadi dalam sejarah perkembangan ekonomi Indonesia, bahwa dalam waktu 7 bulan situasi ekonomi kita telah mengalami kekacauan-kekacauan dan kerusakan-kerusakan yang begitu hebatnya dengan akibat-akibatnya yang sangat luas dan mendalam. Hal ini disebabkan, karena berbeda dengan banyak peraturan-peraturan yang telah diadakan selama beberapa tahun terakhir ini, seperti peraturan-peraturan SIVA, peraturan-peraturan Oktober 1962 dan lain-lain, Peraturan-peraturan 26 Mei bukanlah suatu tindakan moneter konvensional semata-mata, akan tetapi sudah jauh melampaui batas-batas “wewenang” konsepsi konvensional yang klasik, disebabkan karena peraturan-peraturan itu: 

Pertama: Memberikan dasar yang legal sekaligus kepada tindakan devaluasi resmi dan devaluasi de facto, sehingga nilai tukar rupiah kita menjadi sangat merosot dan akan terus merosot dalam ukuran-ukuran yang tidak ada taranya dalam sejarah. Devaluasi resmi ini dilakukan lewat apa yang dinamakan perangsang rupiah bagi kaum eksportir dan pungutan HPN (Hasil Perdagangan Negara) atas barang-barang impor sebanyak Rp270,-- untuk setiap AS $, sehingga kurs resmi dan legal rupiah kita terhadap AS $ menjadi sama dengan Rp270,-- + Rp45,-- = Rp315,--. Devaluasi de facto dilakukan lewat HPN tambahan sebanyak Rp225,-- untuk barang-barang golongan II dan Rp495,-- untuk barang-barang golongan III, dan lewat bea masuk sebanyak 50% dan 100% bagi masing-masing golongan itu. Dengan begitu, maka harga barang impor barang-barang golongan I sekalipun tidak dikenakan HPN tambahan dan bea masuk, barang-barang golongan I seperti beras, harganya menjadi 7 kali lipat dibandingkan dengan harga sebelum berlakunya Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Sedangkan, dengan pengetahuan sederhana dapat dibuat perhitungan, bahwa harga impor (landed cost) barang-barang golongan II, misalnya sebuah motor disel dengan kekuatan 40 tk, jika diimpor dengan devisa retensi dari eksportir, bisa mencapai sekurang-kurangnya Rp2000,-- untuk setiap dolar, sehingga kurs efektif untuk setiap dolar meningkat menjadi 45 kali lipat dibanding kurs resmi sebelum berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu. 

Kedua: Membukakan pintu yang selebar-lebarnya bagi PDN-PDN untuk menjalankan politik liberalisasi harga sehingga praktis kedudukan PDN-PDN merosot menjadi sama dengan perusahaan-perusahaan dagang “swasta” yang spekulatif , dan langsung menyerang prinsip-prinsip ekonomi terpimpin sebagaimana telah dirumuskan dalam Manipol dan Dekon. PDN-PDN bukan saja diperbolehkan, malahan diharuskan mengejar harga pasaran bebas yang spekulatif sampai kepada tingkat sekurang-kurangnya 70% dari harga pasaran bebas itu. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa kaum kapitalis birokrat dalam PDN-PDN diberi kebebasan main kongkalikong dengan tukang-tukang catut untuk mendorong harga barang-barang golongan II dan golongan III sampai setinggi langit dengan akibat sangat merugikan Rakyat banyak, terutama kaum konsumen miskin, dan hanya menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing, kaum komprador, kaum kapitalis birokrat dan kaum spekulan. 

Ketiga: Menetapkan politik tarif yang kejam dengan menaikkan secara resmi tarif-tarif listrik, angkutan di laut, darat dan udara dengan 300-400% sehingga sangat mendorong lebih pesat lagi membubungnya harga-harga dan memperhebat inflasi terbuka.
Inilah isi dan jiwa yang sesungguhnya daripada teror Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang dengan tepat sekali telah disimpulkan oleh Politbiro CC Partai dalam pernyataannya pada tanggal 3 Juni 1963 yang lalu: devaluasi, liberalisasi dan kenaikan harga-harga. 

Berdasarkan pengalaman Rakyat sendiri di waktu-waktu yang lampau yang sangat pahit mengenai tindakan-tindakan moneter Pemerintah dan berdasarkan analisa yang ilmiah mengenai arah perkembangan moneter yang pasti akan timbul setelah berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu, maka Partai telah mengambil sikap yang tepat pula untuk menolak penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei itu. Tindakan-tindakan moneter konvensional yang semata-mata dimaksudkan untuk melegalisasi devaluasi, liberalisasi dan kenaikan harga-harga dengan loncatan-loncatan yang tinggi itu adalah suatu perbuatan teror di bidang ekonomi dan keuangan, yang memang dikehendaki oleh kaum imperialis Amerika Serikat sesuai dengan apa yang dinamakan “program stabilisasi ekonomi”, suatu tindakan yang akan meratakan jalan untuk menjamin lebih tergantungnya lagi ekonomi Indonesia kepada kaum imperialis Amerika Serikat. 

Kebenaran sikap Partai kita untuk menolak mentah-mentah Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei dan bukti-bukti kegagalan total daripada “program stabilisasi ekonomi” kaum imperialis itu telah lebih diperkuat lagi oleh fakta-fakta dan kenyataan-kenyataan daripada praktek-praktek peraturan itu selama 7 bulan belakangan ini.
Uang yang beredar yang menurut taksiran pada akhir tahun 1961 berjumlah kurang lebih Rp67 miliar, telah meningkat pada akhir tahun 1962 menjadi tidak kurang dari Rp130 miliar dan sekarang pada akhir tahun 1963 menurut perkiraan tidak berkurang malahan sebaliknya bertambah menjadi lebih dari Rp200 miliar, sedangkan defisit Anggaran Pembelanjaan Negara yang direncanakan sebanyak Rp33, 4 miliar menurut perkiraan telah meningkat sampai 4 kali lipat. 

Di bidang harga barang-barang kebutuhan pokok misalnya indeks harga beras 2.607 pada bulan Januari, telah menjadi 7.564 dalam bulan Desember tahun 1963 ini, berdasarkan indeks 1955 = 100. Jadi dalam tempo satu tahun harga beras telah meningkat menjadi 3 kali lipat. Ini semua adalah angka-angka resmi yang sudah tentu berbeda daripada kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya berlaku dalam praktek. Menurut kenyataannya, harga beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mencapai tingkat kegila-gilaan yang belum pernah kita alami dalam zaman kemerdekaan ini, termasuk jaman Revolusi 1945-1948 yang keadaannya jauh lebih sulit daripada keadaan sekarang ini.
Menurut laporan-laporan dari daerah-daerah, maka harga beras di beberapa tempat, misalnya Malang, Surabaya, Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan lain-lain sudah bergerak antara Rp175,-- sampai Rp200,-- setiap kilogram, dan di samping itu beberapa daerah pedesaan yang biasanya terkenal sebagai daerah “surplus” tidak luput pula dari bahaya penyakit busung lapar atau bahaya kekurangan makan, sehingga Komando Aksi Anti-lapar Jateng telah terpaksa menggerakkan usaha-usaha praktis guna membantu meringankan penderitaan Rakyat di beberapa tempat. 

Sementara itu di beberapa daerah, telah diusahakan juga untuk menjual gaplek dengan harga yang lebih rendah daripada harga umum sebanyak beberapa puluh ton dari Wonogiri dan Boyolali, sedangkan Pemerintah Pusat telah menyatakan kesanggupannya untuk mengirim 40.000 ton beras.
Dalam hal “perlombaan” menderita kekurangan bahan-bahan makanan khususnya beras rupanya Jawa Barat juga tidak mau “ketinggalan”, dan terutama daerah Kuningan dan Indramayu dimana penduduk dari banyak desa sudah menunjukkan gejala-gejala penyakit “hongeroedeem”.

Kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin, sangat menderita akibat penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei. Di satu pihak daya beli mereka telah sangat merosot, akibat kenaikan harga barang-barang kebutuhan mereka, di pihak lain harga hasil-hasil pertanian dan ternak merosot karena kesulitan-kesulitan pengangkutan dan ongkos-ongkos pengangkutan yang naik secara gila. Barang-barang kebutuhan kaum tani yang sangat naik harganya, bukan saja tekstil, gula pasir, minyak tanah, minyak kelapa, sabun, akan tetapi juga alat-alat pertanian dan pupuk. Pupuk ZA misalnya yang harga resminya Rp3,75 naik menjadi Rp20,10 dan pupuk urea dari Rp7, 50 naik menjadi Rp25,-- setiap kilogramnya. 

Betapa merosotnya daya beli Rakyat pekerja, karena sangat naiknya ongkos-hidup, dapat antara lain dibuktikan bahwa masih banyak upah daripada pekerja harian Pemerintah pada umumnya sekarang berjumlah hanya Rp25,-- sehari, sedangkan di banyak tempat mereka belum juga mendapat pembagian beras secara teratur dan kontinu.
Telah kita ketahui semua, bahwa dengan Rp25, -- itu hanya cukup untuk membeli 1 gelas strup es.
Nasib kaum intelektual pekerja juga tidak luput dari serangan-serangan teror Peraturan-peraturan 26 Mei. Hampir semua golongan intelegensia pekerja sudah tidak sanggup lagi hidup semata-mata dari gajinya yang diterima dari satu sumber saja. 

Untuk menutup kekurangan anggaran biaya rumah tangganya, mereka pada umumnya berusaha mendapatkan sumber-sumber penghasilan lain, dan ini sudah tentu sangat mengurangi prestasi mereka di tempat-tempat pekerjaan mereka yang pokok. 

Bukan saja Rakyat pekerja kaum buruh, tani, nelayan, pekerja-pekerja kerajinan tangan dan kaum intelegensia yang mengalami penderitaan hebat akan tetapi juga kaum pengusaha industri sedang dan kecil terutama pengusaha-pengusaha industri khususnya industri tenun. Dalam banyak surat-surat kabar belum lama berselang tersiar kabar, bahwa kaum pengusaha tenun di daerah-daerah Klaten misalnya, menjerit-jerit, karena Peraturan-peraturan 26 Mei telah “memotong” modal kerja mereka dengan tidak kurang dari 80-85%, sehingga likuiditas mereka tinggal tidak lebih dari 15%. Ini adalah pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam “koperasi” yang biasanya mendapat pembagian bahan-bahan baku dan benang tenun dari Pemerintah, sedangkan pengusaha-pengusaha tenun sedang dan kecil yang biasanya terpaksa berusaha sendiri untuk mendapatkan bahan-bahan baku dan benang tenun dari pasaran bebas pada umumnya telah gulung tikar atau menghadapi kebangkrutan. 

Dan menurut perkembangan yang terakhir, maka 75% dari industri kecil dewasa ini sudah tidak bekerja lagi, karena menjerit kesulitan-kesulitan mendapatkan bahan-bahan baku, dan apabila bahan-bahan baku ini ada, maka tidak terbeli lagi. Ini adalah akibat Peraturan-peraturan 26 Mei yang memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada tukang-tukang catut besar, untuk memborong bahan-bahan itu dengan tujuan menjualnya lagi dengan harga yang lebih tinggi. 

Koperasi-koperasi konsumsi baik koperasi pegawai negeri maupun koperasi-koperasi rukun kampung atau koperasi desa sebagian besar terpaksa gulung tikar karena tidak dapat menebus barang-barangnya dari PDN-PDN dan karena kesulitan-kesulitan pengangkutan. 

Angka-angka lengkap tentang produksi perkebunan selama 6 bulan terakhir ini, belum tersedia untuk dibandingkan dengan angka-angka produksi selama pertengahan selama tahun 1963. Akan tetapi dari fakta-fakta yang sudah kita peroleh, mengenai akibat-akibat Peraturan-peraturan 26 Mei di bidang perkebunan sudah dapat memberikan gambaran-gambaran jelas, bahwa Peraturan-peraturan 26 Mei sangat memerosotkan produksi perkebunan baik swasta maupun Pemerintah. Pimpinan perkebunan swasta di Jawa Barat misalnya akan terpaksa mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya, karena mereka tidak sanggup lagi memberikan catu beras kepada 500.000 kaum buruhnya sebanyak tidak kurang dari 25.000 ton setiap bulan dengan harga Rp160,-- setiap kg. 

Di bidang pertambangan telah kita lihat kenyataan, bahwa ongkos produksi TABA, misalnya meningkat dari Rp103,5 juta menjadi tiga kali lipat yaitu lebih kurang Rp310,-- juta, menurut keterangan ketua SBTI, pada tanggal 26 Juni 1963 di depan Sidang PB FN. 

Akhirnya, tidaklah perlu diterangkan lagi, bahwa pengeluaran Pemerintah Pusat maupun Daerah, dengan adanya Peraturan-peraturan 26 Mei itu, secara umum sangat meningkat. Beberapa minggu yang lalu Pemerintah telah terpaksa mengambil keputusan untuk memberikan kredit tambahan sebanyak Rp9,8 milyar kepada PDN-PDN untuk memperkuat likuiditas PDN-PDN itu. 

Demikianlah gambaran ringkas tentang praktek-praktek daripada Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei di beberapa bidang kehidupan ekonomi dengan bukti-bukti yang hidup bahwa Peraturan-peraturan itu bukan saja tidak berhasil mencapai maksud yang direncanakan, akan tetapi sebaliknya telah membikin lebih rusak dan lebih parah lagi situasi ekonomi pada umumnya dan situasi moneter khususnya, serta lebih memberatkan beban penghidupan Rakyat pekerja, terutama kaum buruh dan kaum tani. 

Pemerintah dalam keterangannya di depan Sidang Pleno DPR-GR pada tanggal 12 Desember 1963 yang lalu telah menyatakan pengakuannya dengan terus terang bahwa Peraturan-peraturan 26 Mei telah mengalami kegagalan dengan mengemukakan pula sebab-sebab kegagalan itu yaitu karena “terlalu banyak mengharapkan bantuan beratus-ratus juta dollar dari luar negeri”.
Ini adalah salah satu sebab kegagalan. Sebab-sebab yang lain adalah karena konseptor-konseptor Peraturan-peraturan 26 Mei dengan tidak tahu malu telah melanggar dan menginjak-injak Gesuri dan Dekon, meninggalkan prinsip musyawarah dan mufakat dan tetap berpegang kepada teori-teori ekonomi liberal, teori ekonomi neo-kolonialisme yang sudah lama dicekokkan oleh kaum imperialis kepada “ahli-ahli” ekonomi soska dan Masyumi, teori ekonomi yang reaksioner dan bertentangan sama sekali dengan Manipol dan Dekon, bertentangan sepenuhnya dengan patriotisme ekonomi.

II

MEMENANGKAN KONFRONTASI EKONOMI TERHADAP “MALAYSIA”

Proyek neo-kolonial “Malaysia”, sebagai suatu manifestasi imperialisme Inggris yang mendapat sokongan penuh dari imperialisme Amerika Serikat bertujuan untuk mengepung dan menghancurkan samasekali hasil-hasil Revoluasi Agustus 1945.

Dibidang ekonomi “Malaysia” akan memaksakan Indonesia supaya melepaskan politik perdagangan luarnegerinya, melepaskan pembangunan berencana, yang dalam batas-batas tertentu merugikan kaum imperialis dan dengan begitu mempertahankan ketergantungan ekonomi Indonesia kepada “Malaysia”. Maka itu, sikap Indonesia untuk memutuskan hubungan ekonominya dengan “Malaysia” sebagaimana yang digariskan oleh presiden Sukarno adalah suatu sikap yang tepat dan tegas. Sikap ini sesuai dengan tuntutan Rakyat dari semua golongan dan lapisan yang berjuang, sesuai dengan tuntutan yang telah dikemukakan oleh Kawan Njoto dalam Sidang PB FN pada akhir bulan September 1963 yang lalu, bahwa konfrontasi kita terhadap “Malaysia, adalah konfrontasi total, -- politik, ekonomi, militer dan kebudayaan. 

Konfrontasi kita di bidang ekonomi seharusnya berkembang ke arah dua jurusan:
1. pukulan-pukulan langsung kepada “Malaysia” berupa pemutusan hubungan ekonomi seperti yang telah dijalankan sekarang, dan mengambil tindakan-tindakan terhadap perusahaan-perusahaan kaum imperialis Inggris dan perusahaan-perusahaan kaum imperialis lainnya yang menyokong “Malaysia” terutama AS; 

2. bersamaan dengan itu mengambil tindakan tegas menanggulangi soal ekonomi, tindakan-tindakan yang kongkrit untuk memperbaiki penghidupan Rakyat, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat membangkitkan serta keuletan kerja Rakyat. 

Dalam pada itu, perjuangan mengganyang “Malaysia” di bidang ekonomi harus pula sejauh mungkin meletakkan dasar untuk membangun ekonomi Indonesia yang tidak tergantung, ekonomi yang merdeka penuh, bebas daripada sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme seperti dinyatakan dalam Dekon. Jadi harus diberantas usaha-usaha dari sementara golongan yang ingin menggerowoti tindakan-tindakan konfrontasi itu di satu pihak bersikap pasif terhadap pemutusan hubungan ekonomi dengan “Malaysia”, dan di pihak lain berusaha memindahkan ketergantungan Indonesia dari “Malaysia (cq Singapura, Penang dan Malaya) kepada Hongkong dan negara-negara imperialis lainnya, secara langsung atau tidak langsung. 

Singapura, Penang dan Malaya mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pusat-pusat perdagangan barang-barang ekspor Indonesia. Barang-barang ekspor ini, terutama karet, minyak hasil maskapai-maskapai asing, kopra, lada, timah dan minyak sawit direekspor ke Amerika Serikat Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.
Menurut catatan-catatan resmi, maka jumlah nilai ekspor Indonesia ke Singapura, Penang dan Malaya dalam tahun 1961 tidak kurang dari AS $215,8 juta atau Rp9.810,-- juta dan merupakan 27,3% dari nilai seluruh ekspor Indonesia. 

Dari jumlah ini, nilai ekspor karet ke Singapura dan Penang meliputi Rp3.770,-- juta atau hampir 40%, timah Rp800,-- juta atau 8,15% dan kopra Rp780,-- juta atau hampir 8% dari seluruh nilai ekspor Indonesia ke Singapura, Penang dan Malaya. 

Seperti akan diuraikan lebih lanjut, maka perdagangan transito dengan Singapura sebagai pusatnya yang diperlengkapi dengan pelabuhan bebas dan macam-macam variasinya lagi adalah identik dengan dengan penyelundupan. Menurut angka-angka yang dapat dikumpulkan dan yang kebenarannya tidak perlu diragukan, maka jumlah karet yang diselundupkan ke Singapura dari tahun 1954 sampai tahun 1960 saja tidak kurang dari 1.050.000 ton atau rata-rata lebih kurang 150.000 ton setahun, sedangkan jumlah kopra yang diselundupkan setiap tahunnya, -buat sebagian besar ke Singapura, -lebih kurang 100.000 ton. 

Sikap tegas dari Pemerintah yang telah digariskan oleh Presiden Sukarno untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan “Malaysia”, ternyata telah membawa akibat-akibat yang sangat berat bagi “Malaysia”. Dalam tempo 3 bulan saja, menurut keterangan resmi dari apa yang dinamakan diri “Menteri Perdagangan dan Industri Singapura” telah menderita kerugian tidak kurang dari Str. $327 juta atau AS $109 juta. Dan bukan saja pengusaha-pegusaha besar di Singapura telah mulai merengek-rengek agar konfrontasi Indonesia di bidang ekonomi dihentikan, akan tetapi “Menteri Perdagangan dan Industri Malaysia”, Lim Swee Aun, menurut berita dalam harian “Ekonomi Nasional” tanggal 4 November 1963 yang lalu, telah menyatakan, bahwa “Pemerintah ‘Malaysia’ tidak akan sampai kepada penyelesaian politiknya dengan pihak Indonesia, apabila konfrontasi ekonomi Indonesia terhadap ‘Malaysia’ tetap dilakukan”. Dan tidak kurang dari kepala-boneka si Tengku sendiri yang pernah mengatakan bahwa “konfrontasi Indonesia benar-benar akan mencekik lehernya ‘Malaysia’, kecuali katanya, apabila bangsa-bangsa ‘Malaysia’ dengan segala jalan berusaha untuk menarik sekutu-sekutunya (kaum imperialis Inggris dan Amerika) ke dalam satu front yang bulat menghadapi Indonesia”. 

Meskipun begitu, adalah keliru sekali untuk memperkecil kekuatan musuh, lebih-lebih jika kita ketahui bahwa yang pegang peranan pokok di belakang pembentukan negara neo-kolonial “Malaysia” adalah kaum impersialis Inggris yang disokong oleh kaum imperialis Amerika Serikat dan kaum reaksioner di negara-negara lain, seperti Jepang, Jerman Barat dan lain-lain dan kaum kontra-revolusi di Indonesia, kaki tangan kaum imperialis. 

Untuk mengkonsolidasi dan mengembangkan tindakan-tindakan konfrontasi ekonomi terhadap “Malaysia” lebih lanjut, harus diambil langkah-langkah kongkrit dan berencana bukan saja di bidang teknis-ekonomis akan tetapi juga di bidang keamanan dan aparatur, sebagaimana secara pokok telah dikemukakan oleh Wakil-wakil CC Partai di depan Sidang PB FN pada akhir bulan September 1963 yang lalu. Di bidang keamanan, kecuali harus dijamin adanya penjagaan keras dan tegas terhadap lalu lintas di laut antara RI dengan “Malaysia”, juga harus diambil tindakan untuk menyita semua modal yang sebetulnya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Singapura, akan tetapi, yang dengan menggunakan orang-orang Indonesia sebagai “stromannen” antara lain diinvestasi di bidang perusahaan remillling di Sumatera Selatan. Sebaliknya harus juga diperiksa lebih jauh, sampai dimana kebenaran berita-berita bahwa banyak pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan remilling di Indonesia yang menanam modalnya di Singapura di bidang perusahaan karet yang berkualitas tinggi. Tujuannya adalah untuk mengolah karet Rakyat tidak di Indonesia tetapi di Singapura. Remilling-remillingnya di Indonesia hanya dipakai sebagai kedok untuk membeli banyak karet Rakyat berkualitas rendah, dan meneruskannya ke Singapura. Usaha-usaha dari pengusaha-pengusaha gadungan di bidang penyelundupan yang sangat merugikan perjuangan konfrontasi ini, tidak boleh kita perkecil artinya. 

Untuk dapat menjalankan tugas berat di bidang keamanan ini dengan sebaik-baiknya, maka dibutuhkan alat-alat negara yang berani bertindak tegas, konsekuen, dan berjiwa Manipolis sejati. Demikian juga harus dijamin agar aparatur perekonomian dengan personalianya yang biasanya bertugas mengurusi soal impor-ekspor ke Singapura, Penang dan Malaya benar-benar dapat menjalankan tugasnya yang sekarang, yaitu secara konsekuen melakukan konfrontasi terhadap “Malaysia”. 

Menurut berita terakhir banyak juga hasil-hasil yang telah tercapai di bidang pemberantasan lalu lintas penyelundupan. Selama lebih kurang 3 bulan, telah dapat disergap 4 kapal “Malaysia” dan lebih kurang 50 perahu-perahu penyelundup yang memuat ratusan ton barang-barang terutama barang-barang lux

Dalam, hubungan ini kita dapat menyambut keputusan yang baru-baru ini diambil oleh Gubernur Kepala Daerah Riau tentang prinsip “barter” yang berlaku bagi perdagangan daerah Riau Daratan dengan daerah lain di Indonesia, atau pun dengan luar negeri, dengan pengertian bahwa harus ada jaminan sepenuhnya bahwa tidak akan dilakukan perdagangan “barter” gelap dengan luar negeri, khususnya dengan “Malaysia”. 

Jalan yang tepat untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungannya kepada Singapura, Penang dan Malaya ialah seharusnya dengan memindahkan pasaran bahan-bahan ekspor kita langsung ke Indonesia, dan bukan memindahkannya ke negeri-negeri lain. 

Akan tetapi memindahkan pasaran ke Indonesia sekali-kali tidak boleh diartikan memindahkan peranan Singapura-Malaya sebagai pusat perdagangan transito ke Indonesia, misalnya dengan menciptakan pelabuhan bebas, free trade zones dan bonded warehouse, sebab: 

a. Barang-barang ekspor yang diperdagangkan dan menjadi problem Indonesia adalah barang-barang yang dikuasai oleh Indonesia. Sekalipun untuk sementara ada kesulitan dalam putusnya hubungan dengan Singapura-Malaya tetapi perspektifnya baik sekali jika tindakan-tindakan selanjutnya tepat. Bagi Singapura-Malaya merupakan satu kesulitan yang sangat lama dan berat karena mereka tidak mendapat barang-barang lagi dari Indonesia secara langsung. 

b. Pelabuhan bebas dengan segala variasinya adalah pertanda daripada kelemahan ekonomi negara-negara yang bersangkutan yang hanya hidup dari pelayanan-pelayanan, yaitu melayani barang-barang kaum kapitalis monopoli yang menghadapi kesulitan pasar. Untuk menarik kapitalis-kapitalis asing diadakan pelayanan-pelayanan secara istimewa dan menyeluruh seperti pelabuhan bank services night-clubs dan akibatnya ialah merajalelanya penyelundupan, gangster dan banditisme, pelacuran, mata-mata dan gerakan subversi asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar