Ardhi Morsse Putra Sriwijaya

Putra Melayu Sriwijaya Berjuang Untuk Nusantara...!!!

Rabu, 23 Mei 2012

Kembali ke Dekon, Laksanakan Konsekuen Patriotisme Ekonomi

Ir. Sakirman (1963)


Penerbit: Yayasan Pembaruan, Jakarta 1964
Naskah asli diperoleh dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (Perdoi), Amsterdam, Belanda.

Laporan Tambahan tentang soal-soal ekonomi kepada Sidang Pleno ke-II CC PKI yang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central, di Jakarta tanggal 23-26 Desember 1963

Isi

I. Situasi Ekonomi yang parah akibat penyelewengan Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei
II. Memenangkan konfrontasi ekonomi terhadap “Malaysia”
III. Laksanakan garis Manipol di bidang perdagangan luas dan dalam negeri
IV. Atasi krisi beras
V. Atasi Kemacetan produksi dan komunikasi
VI. Tolak “Bantuan” dari manapun yang merugikan Indonesia
VII. Teruskan pembangunan berencana yang demokratis dan patriotik
***

Kawan Ketua,
Kawan-kawan Pimpinan, dan
Kawan-kawan lainnya yang tercinta,
Saya pertama-tama menyatakan persetujuan saya atas seluruh isi Laporan Politik Kawan Ketua yang telah disampaikan kepada Sidang Pleno Ke-II CC ini. Saya juga dapat menerima dan menyetujui sepenuhnya kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Pimpinan Partai selama periode antara Sidang Pleno ke-I dan Sidang Pleno ke-II.
Saya akan memberikan Laporan Tambahan yang berisi pada pokoknya perincian lebih lanjut mengenai soal-soal ekonomi, dengan memberikan perhatian khusus kepada beberapa segi perkembangan ekonomi sosial kita pada waktu-waktu belakangan ini.

I

SITUASI EKONOMI YANG PARAH AKIBAT PENYELEWENGAN PERATURAN-PERATURAN EKONOMI 26 MEI

Waktu 7 bulan adalah sangat pendek dalam sejarah, dan lebih pendek bagi konseptor-konseptor Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Para konseptor dan arsitek, begitu juga para pembela yang setia daripada Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei tidak pernah memimpikan bahwa Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang mereka gembar-gemborkan sebagai “peraturan-peraturan untuk melaksanakan DEKON”, hanya berumur 7 bulan, tidak lebih dan tidak kurang. Dan ini pun jika kita pakai ukuran-ukuran formil yuridis berdasarkan keterangan Pemerintah di depan Sidang Pleno DPR-GR tanggal 12 Desember 1963 yang baru lalu. Presiden Sukarno sendiri telah lebih dulu, yaitu dalam sidang PB FN pada tanggal 5-6 September 1963 yang lalu menyatakan pendapatnya dapat menyetujui keputusan Sidang Pleno PB FN itu untuk mengubah Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. 

Belum pernah terjadi dalam sejarah perkembangan ekonomi Indonesia, bahwa dalam waktu 7 bulan situasi ekonomi kita telah mengalami kekacauan-kekacauan dan kerusakan-kerusakan yang begitu hebatnya dengan akibat-akibatnya yang sangat luas dan mendalam. Hal ini disebabkan, karena berbeda dengan banyak peraturan-peraturan yang telah diadakan selama beberapa tahun terakhir ini, seperti peraturan-peraturan SIVA, peraturan-peraturan Oktober 1962 dan lain-lain, Peraturan-peraturan 26 Mei bukanlah suatu tindakan moneter konvensional semata-mata, akan tetapi sudah jauh melampaui batas-batas “wewenang” konsepsi konvensional yang klasik, disebabkan karena peraturan-peraturan itu: 

Pertama: Memberikan dasar yang legal sekaligus kepada tindakan devaluasi resmi dan devaluasi de facto, sehingga nilai tukar rupiah kita menjadi sangat merosot dan akan terus merosot dalam ukuran-ukuran yang tidak ada taranya dalam sejarah. Devaluasi resmi ini dilakukan lewat apa yang dinamakan perangsang rupiah bagi kaum eksportir dan pungutan HPN (Hasil Perdagangan Negara) atas barang-barang impor sebanyak Rp270,-- untuk setiap AS $, sehingga kurs resmi dan legal rupiah kita terhadap AS $ menjadi sama dengan Rp270,-- + Rp45,-- = Rp315,--. Devaluasi de facto dilakukan lewat HPN tambahan sebanyak Rp225,-- untuk barang-barang golongan II dan Rp495,-- untuk barang-barang golongan III, dan lewat bea masuk sebanyak 50% dan 100% bagi masing-masing golongan itu. Dengan begitu, maka harga barang impor barang-barang golongan I sekalipun tidak dikenakan HPN tambahan dan bea masuk, barang-barang golongan I seperti beras, harganya menjadi 7 kali lipat dibandingkan dengan harga sebelum berlakunya Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Sedangkan, dengan pengetahuan sederhana dapat dibuat perhitungan, bahwa harga impor (landed cost) barang-barang golongan II, misalnya sebuah motor disel dengan kekuatan 40 tk, jika diimpor dengan devisa retensi dari eksportir, bisa mencapai sekurang-kurangnya Rp2000,-- untuk setiap dolar, sehingga kurs efektif untuk setiap dolar meningkat menjadi 45 kali lipat dibanding kurs resmi sebelum berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu. 

Kedua: Membukakan pintu yang selebar-lebarnya bagi PDN-PDN untuk menjalankan politik liberalisasi harga sehingga praktis kedudukan PDN-PDN merosot menjadi sama dengan perusahaan-perusahaan dagang “swasta” yang spekulatif , dan langsung menyerang prinsip-prinsip ekonomi terpimpin sebagaimana telah dirumuskan dalam Manipol dan Dekon. PDN-PDN bukan saja diperbolehkan, malahan diharuskan mengejar harga pasaran bebas yang spekulatif sampai kepada tingkat sekurang-kurangnya 70% dari harga pasaran bebas itu. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa kaum kapitalis birokrat dalam PDN-PDN diberi kebebasan main kongkalikong dengan tukang-tukang catut untuk mendorong harga barang-barang golongan II dan golongan III sampai setinggi langit dengan akibat sangat merugikan Rakyat banyak, terutama kaum konsumen miskin, dan hanya menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing, kaum komprador, kaum kapitalis birokrat dan kaum spekulan. 

Ketiga: Menetapkan politik tarif yang kejam dengan menaikkan secara resmi tarif-tarif listrik, angkutan di laut, darat dan udara dengan 300-400% sehingga sangat mendorong lebih pesat lagi membubungnya harga-harga dan memperhebat inflasi terbuka.
Inilah isi dan jiwa yang sesungguhnya daripada teror Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang dengan tepat sekali telah disimpulkan oleh Politbiro CC Partai dalam pernyataannya pada tanggal 3 Juni 1963 yang lalu: devaluasi, liberalisasi dan kenaikan harga-harga. 

Berdasarkan pengalaman Rakyat sendiri di waktu-waktu yang lampau yang sangat pahit mengenai tindakan-tindakan moneter Pemerintah dan berdasarkan analisa yang ilmiah mengenai arah perkembangan moneter yang pasti akan timbul setelah berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu, maka Partai telah mengambil sikap yang tepat pula untuk menolak penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei itu. Tindakan-tindakan moneter konvensional yang semata-mata dimaksudkan untuk melegalisasi devaluasi, liberalisasi dan kenaikan harga-harga dengan loncatan-loncatan yang tinggi itu adalah suatu perbuatan teror di bidang ekonomi dan keuangan, yang memang dikehendaki oleh kaum imperialis Amerika Serikat sesuai dengan apa yang dinamakan “program stabilisasi ekonomi”, suatu tindakan yang akan meratakan jalan untuk menjamin lebih tergantungnya lagi ekonomi Indonesia kepada kaum imperialis Amerika Serikat. 

Kebenaran sikap Partai kita untuk menolak mentah-mentah Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei dan bukti-bukti kegagalan total daripada “program stabilisasi ekonomi” kaum imperialis itu telah lebih diperkuat lagi oleh fakta-fakta dan kenyataan-kenyataan daripada praktek-praktek peraturan itu selama 7 bulan belakangan ini.
Uang yang beredar yang menurut taksiran pada akhir tahun 1961 berjumlah kurang lebih Rp67 miliar, telah meningkat pada akhir tahun 1962 menjadi tidak kurang dari Rp130 miliar dan sekarang pada akhir tahun 1963 menurut perkiraan tidak berkurang malahan sebaliknya bertambah menjadi lebih dari Rp200 miliar, sedangkan defisit Anggaran Pembelanjaan Negara yang direncanakan sebanyak Rp33, 4 miliar menurut perkiraan telah meningkat sampai 4 kali lipat. 

Di bidang harga barang-barang kebutuhan pokok misalnya indeks harga beras 2.607 pada bulan Januari, telah menjadi 7.564 dalam bulan Desember tahun 1963 ini, berdasarkan indeks 1955 = 100. Jadi dalam tempo satu tahun harga beras telah meningkat menjadi 3 kali lipat. Ini semua adalah angka-angka resmi yang sudah tentu berbeda daripada kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya berlaku dalam praktek. Menurut kenyataannya, harga beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mencapai tingkat kegila-gilaan yang belum pernah kita alami dalam zaman kemerdekaan ini, termasuk jaman Revolusi 1945-1948 yang keadaannya jauh lebih sulit daripada keadaan sekarang ini.
Menurut laporan-laporan dari daerah-daerah, maka harga beras di beberapa tempat, misalnya Malang, Surabaya, Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan lain-lain sudah bergerak antara Rp175,-- sampai Rp200,-- setiap kilogram, dan di samping itu beberapa daerah pedesaan yang biasanya terkenal sebagai daerah “surplus” tidak luput pula dari bahaya penyakit busung lapar atau bahaya kekurangan makan, sehingga Komando Aksi Anti-lapar Jateng telah terpaksa menggerakkan usaha-usaha praktis guna membantu meringankan penderitaan Rakyat di beberapa tempat. 

Sementara itu di beberapa daerah, telah diusahakan juga untuk menjual gaplek dengan harga yang lebih rendah daripada harga umum sebanyak beberapa puluh ton dari Wonogiri dan Boyolali, sedangkan Pemerintah Pusat telah menyatakan kesanggupannya untuk mengirim 40.000 ton beras.
Dalam hal “perlombaan” menderita kekurangan bahan-bahan makanan khususnya beras rupanya Jawa Barat juga tidak mau “ketinggalan”, dan terutama daerah Kuningan dan Indramayu dimana penduduk dari banyak desa sudah menunjukkan gejala-gejala penyakit “hongeroedeem”.

Kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin, sangat menderita akibat penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei. Di satu pihak daya beli mereka telah sangat merosot, akibat kenaikan harga barang-barang kebutuhan mereka, di pihak lain harga hasil-hasil pertanian dan ternak merosot karena kesulitan-kesulitan pengangkutan dan ongkos-ongkos pengangkutan yang naik secara gila. Barang-barang kebutuhan kaum tani yang sangat naik harganya, bukan saja tekstil, gula pasir, minyak tanah, minyak kelapa, sabun, akan tetapi juga alat-alat pertanian dan pupuk. Pupuk ZA misalnya yang harga resminya Rp3,75 naik menjadi Rp20,10 dan pupuk urea dari Rp7, 50 naik menjadi Rp25,-- setiap kilogramnya. 

Betapa merosotnya daya beli Rakyat pekerja, karena sangat naiknya ongkos-hidup, dapat antara lain dibuktikan bahwa masih banyak upah daripada pekerja harian Pemerintah pada umumnya sekarang berjumlah hanya Rp25,-- sehari, sedangkan di banyak tempat mereka belum juga mendapat pembagian beras secara teratur dan kontinu.
Telah kita ketahui semua, bahwa dengan Rp25, -- itu hanya cukup untuk membeli 1 gelas strup es.
Nasib kaum intelektual pekerja juga tidak luput dari serangan-serangan teror Peraturan-peraturan 26 Mei. Hampir semua golongan intelegensia pekerja sudah tidak sanggup lagi hidup semata-mata dari gajinya yang diterima dari satu sumber saja. 

Untuk menutup kekurangan anggaran biaya rumah tangganya, mereka pada umumnya berusaha mendapatkan sumber-sumber penghasilan lain, dan ini sudah tentu sangat mengurangi prestasi mereka di tempat-tempat pekerjaan mereka yang pokok. 

Bukan saja Rakyat pekerja kaum buruh, tani, nelayan, pekerja-pekerja kerajinan tangan dan kaum intelegensia yang mengalami penderitaan hebat akan tetapi juga kaum pengusaha industri sedang dan kecil terutama pengusaha-pengusaha industri khususnya industri tenun. Dalam banyak surat-surat kabar belum lama berselang tersiar kabar, bahwa kaum pengusaha tenun di daerah-daerah Klaten misalnya, menjerit-jerit, karena Peraturan-peraturan 26 Mei telah “memotong” modal kerja mereka dengan tidak kurang dari 80-85%, sehingga likuiditas mereka tinggal tidak lebih dari 15%. Ini adalah pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam “koperasi” yang biasanya mendapat pembagian bahan-bahan baku dan benang tenun dari Pemerintah, sedangkan pengusaha-pengusaha tenun sedang dan kecil yang biasanya terpaksa berusaha sendiri untuk mendapatkan bahan-bahan baku dan benang tenun dari pasaran bebas pada umumnya telah gulung tikar atau menghadapi kebangkrutan. 

Dan menurut perkembangan yang terakhir, maka 75% dari industri kecil dewasa ini sudah tidak bekerja lagi, karena menjerit kesulitan-kesulitan mendapatkan bahan-bahan baku, dan apabila bahan-bahan baku ini ada, maka tidak terbeli lagi. Ini adalah akibat Peraturan-peraturan 26 Mei yang memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada tukang-tukang catut besar, untuk memborong bahan-bahan itu dengan tujuan menjualnya lagi dengan harga yang lebih tinggi. 

Koperasi-koperasi konsumsi baik koperasi pegawai negeri maupun koperasi-koperasi rukun kampung atau koperasi desa sebagian besar terpaksa gulung tikar karena tidak dapat menebus barang-barangnya dari PDN-PDN dan karena kesulitan-kesulitan pengangkutan. 

Angka-angka lengkap tentang produksi perkebunan selama 6 bulan terakhir ini, belum tersedia untuk dibandingkan dengan angka-angka produksi selama pertengahan selama tahun 1963. Akan tetapi dari fakta-fakta yang sudah kita peroleh, mengenai akibat-akibat Peraturan-peraturan 26 Mei di bidang perkebunan sudah dapat memberikan gambaran-gambaran jelas, bahwa Peraturan-peraturan 26 Mei sangat memerosotkan produksi perkebunan baik swasta maupun Pemerintah. Pimpinan perkebunan swasta di Jawa Barat misalnya akan terpaksa mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya, karena mereka tidak sanggup lagi memberikan catu beras kepada 500.000 kaum buruhnya sebanyak tidak kurang dari 25.000 ton setiap bulan dengan harga Rp160,-- setiap kg. 

Di bidang pertambangan telah kita lihat kenyataan, bahwa ongkos produksi TABA, misalnya meningkat dari Rp103,5 juta menjadi tiga kali lipat yaitu lebih kurang Rp310,-- juta, menurut keterangan ketua SBTI, pada tanggal 26 Juni 1963 di depan Sidang PB FN. 

Akhirnya, tidaklah perlu diterangkan lagi, bahwa pengeluaran Pemerintah Pusat maupun Daerah, dengan adanya Peraturan-peraturan 26 Mei itu, secara umum sangat meningkat. Beberapa minggu yang lalu Pemerintah telah terpaksa mengambil keputusan untuk memberikan kredit tambahan sebanyak Rp9,8 milyar kepada PDN-PDN untuk memperkuat likuiditas PDN-PDN itu. 

Demikianlah gambaran ringkas tentang praktek-praktek daripada Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei di beberapa bidang kehidupan ekonomi dengan bukti-bukti yang hidup bahwa Peraturan-peraturan itu bukan saja tidak berhasil mencapai maksud yang direncanakan, akan tetapi sebaliknya telah membikin lebih rusak dan lebih parah lagi situasi ekonomi pada umumnya dan situasi moneter khususnya, serta lebih memberatkan beban penghidupan Rakyat pekerja, terutama kaum buruh dan kaum tani. 

Pemerintah dalam keterangannya di depan Sidang Pleno DPR-GR pada tanggal 12 Desember 1963 yang lalu telah menyatakan pengakuannya dengan terus terang bahwa Peraturan-peraturan 26 Mei telah mengalami kegagalan dengan mengemukakan pula sebab-sebab kegagalan itu yaitu karena “terlalu banyak mengharapkan bantuan beratus-ratus juta dollar dari luar negeri”.
Ini adalah salah satu sebab kegagalan. Sebab-sebab yang lain adalah karena konseptor-konseptor Peraturan-peraturan 26 Mei dengan tidak tahu malu telah melanggar dan menginjak-injak Gesuri dan Dekon, meninggalkan prinsip musyawarah dan mufakat dan tetap berpegang kepada teori-teori ekonomi liberal, teori ekonomi neo-kolonialisme yang sudah lama dicekokkan oleh kaum imperialis kepada “ahli-ahli” ekonomi soska dan Masyumi, teori ekonomi yang reaksioner dan bertentangan sama sekali dengan Manipol dan Dekon, bertentangan sepenuhnya dengan patriotisme ekonomi.

II

MEMENANGKAN KONFRONTASI EKONOMI TERHADAP “MALAYSIA”

Proyek neo-kolonial “Malaysia”, sebagai suatu manifestasi imperialisme Inggris yang mendapat sokongan penuh dari imperialisme Amerika Serikat bertujuan untuk mengepung dan menghancurkan samasekali hasil-hasil Revoluasi Agustus 1945.

Dibidang ekonomi “Malaysia” akan memaksakan Indonesia supaya melepaskan politik perdagangan luarnegerinya, melepaskan pembangunan berencana, yang dalam batas-batas tertentu merugikan kaum imperialis dan dengan begitu mempertahankan ketergantungan ekonomi Indonesia kepada “Malaysia”. Maka itu, sikap Indonesia untuk memutuskan hubungan ekonominya dengan “Malaysia” sebagaimana yang digariskan oleh presiden Sukarno adalah suatu sikap yang tepat dan tegas. Sikap ini sesuai dengan tuntutan Rakyat dari semua golongan dan lapisan yang berjuang, sesuai dengan tuntutan yang telah dikemukakan oleh Kawan Njoto dalam Sidang PB FN pada akhir bulan September 1963 yang lalu, bahwa konfrontasi kita terhadap “Malaysia, adalah konfrontasi total, -- politik, ekonomi, militer dan kebudayaan. 

Konfrontasi kita di bidang ekonomi seharusnya berkembang ke arah dua jurusan:
1. pukulan-pukulan langsung kepada “Malaysia” berupa pemutusan hubungan ekonomi seperti yang telah dijalankan sekarang, dan mengambil tindakan-tindakan terhadap perusahaan-perusahaan kaum imperialis Inggris dan perusahaan-perusahaan kaum imperialis lainnya yang menyokong “Malaysia” terutama AS; 

2. bersamaan dengan itu mengambil tindakan tegas menanggulangi soal ekonomi, tindakan-tindakan yang kongkrit untuk memperbaiki penghidupan Rakyat, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat membangkitkan serta keuletan kerja Rakyat. 

Dalam pada itu, perjuangan mengganyang “Malaysia” di bidang ekonomi harus pula sejauh mungkin meletakkan dasar untuk membangun ekonomi Indonesia yang tidak tergantung, ekonomi yang merdeka penuh, bebas daripada sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme seperti dinyatakan dalam Dekon. Jadi harus diberantas usaha-usaha dari sementara golongan yang ingin menggerowoti tindakan-tindakan konfrontasi itu di satu pihak bersikap pasif terhadap pemutusan hubungan ekonomi dengan “Malaysia”, dan di pihak lain berusaha memindahkan ketergantungan Indonesia dari “Malaysia (cq Singapura, Penang dan Malaya) kepada Hongkong dan negara-negara imperialis lainnya, secara langsung atau tidak langsung. 

Singapura, Penang dan Malaya mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pusat-pusat perdagangan barang-barang ekspor Indonesia. Barang-barang ekspor ini, terutama karet, minyak hasil maskapai-maskapai asing, kopra, lada, timah dan minyak sawit direekspor ke Amerika Serikat Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.
Menurut catatan-catatan resmi, maka jumlah nilai ekspor Indonesia ke Singapura, Penang dan Malaya dalam tahun 1961 tidak kurang dari AS $215,8 juta atau Rp9.810,-- juta dan merupakan 27,3% dari nilai seluruh ekspor Indonesia. 

Dari jumlah ini, nilai ekspor karet ke Singapura dan Penang meliputi Rp3.770,-- juta atau hampir 40%, timah Rp800,-- juta atau 8,15% dan kopra Rp780,-- juta atau hampir 8% dari seluruh nilai ekspor Indonesia ke Singapura, Penang dan Malaya. 

Seperti akan diuraikan lebih lanjut, maka perdagangan transito dengan Singapura sebagai pusatnya yang diperlengkapi dengan pelabuhan bebas dan macam-macam variasinya lagi adalah identik dengan dengan penyelundupan. Menurut angka-angka yang dapat dikumpulkan dan yang kebenarannya tidak perlu diragukan, maka jumlah karet yang diselundupkan ke Singapura dari tahun 1954 sampai tahun 1960 saja tidak kurang dari 1.050.000 ton atau rata-rata lebih kurang 150.000 ton setahun, sedangkan jumlah kopra yang diselundupkan setiap tahunnya, -buat sebagian besar ke Singapura, -lebih kurang 100.000 ton. 

Sikap tegas dari Pemerintah yang telah digariskan oleh Presiden Sukarno untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan “Malaysia”, ternyata telah membawa akibat-akibat yang sangat berat bagi “Malaysia”. Dalam tempo 3 bulan saja, menurut keterangan resmi dari apa yang dinamakan diri “Menteri Perdagangan dan Industri Singapura” telah menderita kerugian tidak kurang dari Str. $327 juta atau AS $109 juta. Dan bukan saja pengusaha-pegusaha besar di Singapura telah mulai merengek-rengek agar konfrontasi Indonesia di bidang ekonomi dihentikan, akan tetapi “Menteri Perdagangan dan Industri Malaysia”, Lim Swee Aun, menurut berita dalam harian “Ekonomi Nasional” tanggal 4 November 1963 yang lalu, telah menyatakan, bahwa “Pemerintah ‘Malaysia’ tidak akan sampai kepada penyelesaian politiknya dengan pihak Indonesia, apabila konfrontasi ekonomi Indonesia terhadap ‘Malaysia’ tetap dilakukan”. Dan tidak kurang dari kepala-boneka si Tengku sendiri yang pernah mengatakan bahwa “konfrontasi Indonesia benar-benar akan mencekik lehernya ‘Malaysia’, kecuali katanya, apabila bangsa-bangsa ‘Malaysia’ dengan segala jalan berusaha untuk menarik sekutu-sekutunya (kaum imperialis Inggris dan Amerika) ke dalam satu front yang bulat menghadapi Indonesia”. 

Meskipun begitu, adalah keliru sekali untuk memperkecil kekuatan musuh, lebih-lebih jika kita ketahui bahwa yang pegang peranan pokok di belakang pembentukan negara neo-kolonial “Malaysia” adalah kaum impersialis Inggris yang disokong oleh kaum imperialis Amerika Serikat dan kaum reaksioner di negara-negara lain, seperti Jepang, Jerman Barat dan lain-lain dan kaum kontra-revolusi di Indonesia, kaki tangan kaum imperialis. 

Untuk mengkonsolidasi dan mengembangkan tindakan-tindakan konfrontasi ekonomi terhadap “Malaysia” lebih lanjut, harus diambil langkah-langkah kongkrit dan berencana bukan saja di bidang teknis-ekonomis akan tetapi juga di bidang keamanan dan aparatur, sebagaimana secara pokok telah dikemukakan oleh Wakil-wakil CC Partai di depan Sidang PB FN pada akhir bulan September 1963 yang lalu. Di bidang keamanan, kecuali harus dijamin adanya penjagaan keras dan tegas terhadap lalu lintas di laut antara RI dengan “Malaysia”, juga harus diambil tindakan untuk menyita semua modal yang sebetulnya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Singapura, akan tetapi, yang dengan menggunakan orang-orang Indonesia sebagai “stromannen” antara lain diinvestasi di bidang perusahaan remillling di Sumatera Selatan. Sebaliknya harus juga diperiksa lebih jauh, sampai dimana kebenaran berita-berita bahwa banyak pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan remilling di Indonesia yang menanam modalnya di Singapura di bidang perusahaan karet yang berkualitas tinggi. Tujuannya adalah untuk mengolah karet Rakyat tidak di Indonesia tetapi di Singapura. Remilling-remillingnya di Indonesia hanya dipakai sebagai kedok untuk membeli banyak karet Rakyat berkualitas rendah, dan meneruskannya ke Singapura. Usaha-usaha dari pengusaha-pengusaha gadungan di bidang penyelundupan yang sangat merugikan perjuangan konfrontasi ini, tidak boleh kita perkecil artinya. 

Untuk dapat menjalankan tugas berat di bidang keamanan ini dengan sebaik-baiknya, maka dibutuhkan alat-alat negara yang berani bertindak tegas, konsekuen, dan berjiwa Manipolis sejati. Demikian juga harus dijamin agar aparatur perekonomian dengan personalianya yang biasanya bertugas mengurusi soal impor-ekspor ke Singapura, Penang dan Malaya benar-benar dapat menjalankan tugasnya yang sekarang, yaitu secara konsekuen melakukan konfrontasi terhadap “Malaysia”. 

Menurut berita terakhir banyak juga hasil-hasil yang telah tercapai di bidang pemberantasan lalu lintas penyelundupan. Selama lebih kurang 3 bulan, telah dapat disergap 4 kapal “Malaysia” dan lebih kurang 50 perahu-perahu penyelundup yang memuat ratusan ton barang-barang terutama barang-barang lux

Dalam, hubungan ini kita dapat menyambut keputusan yang baru-baru ini diambil oleh Gubernur Kepala Daerah Riau tentang prinsip “barter” yang berlaku bagi perdagangan daerah Riau Daratan dengan daerah lain di Indonesia, atau pun dengan luar negeri, dengan pengertian bahwa harus ada jaminan sepenuhnya bahwa tidak akan dilakukan perdagangan “barter” gelap dengan luar negeri, khususnya dengan “Malaysia”. 

Jalan yang tepat untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungannya kepada Singapura, Penang dan Malaya ialah seharusnya dengan memindahkan pasaran bahan-bahan ekspor kita langsung ke Indonesia, dan bukan memindahkannya ke negeri-negeri lain. 

Akan tetapi memindahkan pasaran ke Indonesia sekali-kali tidak boleh diartikan memindahkan peranan Singapura-Malaya sebagai pusat perdagangan transito ke Indonesia, misalnya dengan menciptakan pelabuhan bebas, free trade zones dan bonded warehouse, sebab: 

a. Barang-barang ekspor yang diperdagangkan dan menjadi problem Indonesia adalah barang-barang yang dikuasai oleh Indonesia. Sekalipun untuk sementara ada kesulitan dalam putusnya hubungan dengan Singapura-Malaya tetapi perspektifnya baik sekali jika tindakan-tindakan selanjutnya tepat. Bagi Singapura-Malaya merupakan satu kesulitan yang sangat lama dan berat karena mereka tidak mendapat barang-barang lagi dari Indonesia secara langsung. 

b. Pelabuhan bebas dengan segala variasinya adalah pertanda daripada kelemahan ekonomi negara-negara yang bersangkutan yang hanya hidup dari pelayanan-pelayanan, yaitu melayani barang-barang kaum kapitalis monopoli yang menghadapi kesulitan pasar. Untuk menarik kapitalis-kapitalis asing diadakan pelayanan-pelayanan secara istimewa dan menyeluruh seperti pelabuhan bank services night-clubs dan akibatnya ialah merajalelanya penyelundupan, gangster dan banditisme, pelacuran, mata-mata dan gerakan subversi asing.

Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra


Leon Trotsky

Ditulis: Tahun 1923
Penerjemah: Dewey Setiawan [Komentar, kritik, atau perbaikan atas terjemahan ini]

Perdebatan mengenai “seni murni” dan seni bertendens sering terjadi diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan kita. Dialektika materialis berdiri di atas ini; dari cara pandang proses historis yang obyektif, seni selalu merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah selalu bersifat utilitarian. Seni memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah seni tersebut muncul di bawah bendera seni yang “murni” ataupun yang jelas-jelas bertendensi pada kasus tertentu. 

Dalam perkembangan sosial masyarakat kita (Rusia), keberpihakan merupakan panji-panji kaum intelektual yang berusaha untuk membangun hubungan dengan rakyat. Kaum intelektual yang tak mempunyai kekuatan tersebut, dihancurkan oleh kekaisaran dan kehilangan lingkungan budaya, berusaha mencari dukungan pada strata bawah dalam masyarakat dan membuktikan kepada “rakyat” bahwa mereka berfikir, hidup, dan mencintai rakyat "secara luar biasa." Dan seperti halnya kaum populis yang siap turun ke masyarakat tanpa kain linen yang bersih, sisir dan sikat gigi, kaum intelektual siap mengorbankan “kerumitan” bentuk dalam ekspresi seni mereka, demi memberikan ekspresi yang paling spontan dan langsung untuk penderitaan dan harapan-harapan kaum tertindas. Pada pihak lain, seni "murni" merupakan panji-panji kaum borjuis yang sedang tumbuh, yang tidak bisa mendeklarasikan karakter borjuisnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama berusaha mempertahankan kaum intelektual dalam kelompoknya. 

Cara pandang Marxist telah dijauhkan dari tendensi-tendensi tersebut, yang memang dulunya dibutuhkan secara historis, tetapi sesudahnya menjadi sesuatu yang ketinggalan jaman. Dengan tetap mempertahankan investigasi ilmiahnya, Marxisme secara seimbang mencari akar sosial dari seni yang murni maupun seni yang berpihak. Marxisme sama sekali tidak "membebani" seorang penyair dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pemikiran dan perasaan yang dia ekpresikan, tetapi memberikan pertanyaan yang jauh lebih signifikan, yaitu,  pada perasaan-perasaan yang seperti apa sebuah karya artistik berhubungan satu sama lain dalam keanehan-keanehannya? Kondisi-kondisi sosial apa yang melingkupi pemikiran dan perasaan itu? Tempat apa yang mereka jajah dalam perkembangan historis masyarakat dan kelas? Dan lebih jauh lagi, warisan sastra apa yang bermain dalam elaborasi bentuk seni yang lebih baru? Di bawah pengaruh impuls historis apa kompleksitas perasaan dan pemikiran terpecah dalam kulit yang memisahkan mereka dari wilayah kesadaran puitik? Investigasi tersebut dapat menjadi rumit, mendetil atau terindividualisasi, tetapi ide mendasarnya terletak pada peran tambahan yang dijalankan seni dalam proses sosial. 

Setiap kelas memiliki kebijakannya sendiri terhadap seni, yaitu berupa sebuah sistem yang menampilkan tuntutan-tuntutan atas seni, yang berubah sesuai dengan waktu; seperti contohnya, perlindungan ala Maecenas terhadap istana dan grand seigneur, hubungan otomatis antara permintaan dan penawaran yang dipasokkan oleh metode-metode kompleks yang mempengaruhi individu-individu, dan seterusnya, dan sebagainya. Ketergantungan sosial dan bahkan personal dari seni tidaklah ditutup-tutupi, tapi secara terbuka diumumkan selama seni tersebut mempertahankan sifat jujurnya. Karakter misterius, luas, dan populer dari borjuis yang bangkit telah menggiring, secara menyeluruh, pada teori seni murni, meskipun begitu banyak penyelewengan terjadi dalam teori ini. Seperti yang telah diindikasikan di atas, sastra bertendens kaum intelektual "populist" diimbuhi dengan sebuah kepentingan kelas; kaum intelektual tidak mampu memperkuat dirinya sendiri dan merebut hak untuk memainkan peranan dalam sejarah bagi dirinya tanpa dukungan dari rakyat. Tapi dalam perjuangan revolusioner, egotisme kelas kaum intelektual terpadamkan, dan pada sayap kirinya, mereka mengasumsikan bentuk pengorbanan diri dalam tataran tertinggi. Itulah kenapa kaum intelektual tidak hanya menutupi seni dengan sebuah tendensi, tapi memproklamirkannya, yaitu mengorbankan seni, seperti halnya mereka mengorbankan banyak hal lainnya. 

Konsepsi Marxist tentang ketergantungan sosial obyektif serta kegunaan sosial dari seni, saat diterjemahkan dalam bahasa ilmu politik, bukannya dimaksudkan untuk mendominasi seni dengan perintah atau pesanan. Tidak benar jika dikatakan bahwa kita hanya menghargai seni yang baru dan revolusioner, yang menyuarakan suara para pekerja, dan omong kosong jika kita dikatakan menuntut para penyair menggambarkan cerobong pabrik, atau pemberontakan melawan kapital! Tentu saja seni yang baru, tidak bisa tidak, menempatkan perjuangan proletariat pada perhatiannya yang utama. Tapi penjajakan seni baru tidaklah terbatas pada beberapa bidang saja. Sebaliknya, ini harus menjajaki semua seluruh lapangan dalam keseluruhan arah. Syair-syair pribadi dalam lingkupnya yang terkecil memiliki hak mutlak untuk tetap eksis dalam seni baru. Tetapi, manusia baru tak akan bisa dibentuk tanpa adanya sebuah puisi liris baru. Tetapi untuk menciptakannya, sang penyair harus memandang dunia dengan  cara yang baru. Jika Kristus atau Sabaoth saja lunglai dalam rengkuhan para penyair (seperti dalam kasus Akhmatova, Tsvetaeva, Shkapskaya dan yang lain), ini membuktikan betapa ketinggalannya lirik mereka dan betapa tidak mencukupinya mereka bagi manusia baru. Bahkan saat dimana terminologi seperti itu tidak lebih dari sekedar kata dalam menghadapi zaman, hal tersebut menunjukkan sebuah kemacetan psikologis, dan oleh karenaya berdiri dalam kontradiksi dengan kesadaran manusia baru. 

Tak seorangpun ingin atau bermaksud memaksakan tema-tema pada para penyair. Silahkan menulis tentang segala sesuatu yang anda pikirkan. Tapi biarkanlah kelas baru ini, kelas yang merasa terpanggil untuk membangun sebuah dunia baru, bersuara kepada anda dalam beberapa permasalahan-permasalahan tertentu. Kelas ini tidak memaksa penyair-penyair muda anda menerjemahkan filsafat hidup abad tujuh belas dalam bahasa yang sempurna. Karya seni, dalam lingkup tertentu dan tingkatan yang luas, bersifat merdeka, tetapi seniman yang menciptakan karya ini dan juga pemirsa yang menikmatinya bukanlah mesin-mesin mati; yang pertama menciptakan karya dan yang kedua mengapresiasi karya tersebut. Mereka adalah makhluk hidup, meskipun kadang tidak seluruhnya harmonis, dengan kondisi psikologi terkristalisasi yang mewakili sebuah kesatuan tertentu. Psikologi seperti ini merupakan akibat dari kondisi-kondisi sosial. Penciptaan dan persepsi seni adalah satu dari sekian fungsi psikologi tersebut. Dan tak peduli sepandai apapun kaum formalis mencoba menampilkan dirinya, konsepsi keseluruhan mereka secara sederhana didasarkan pada fakta bahwa mereka mengabaikan kesatuan psikologis dari manusia sosial, yang menciptakan dan menikmati apa yang telah diciptakan itu. 

Dalam seni,  kelas proletar harus memiliki ekspresi yang berasal dari cara pandang spiritual baru yang mulai diformulasikan dalam diri mereka, dan kemana seni harus membantunya untuk menciptakan bentuk. Ini bukanlah tuntutan negara, tetapi tuntutan sejarah. Kekuatannya terletak pada obyektifitas dari kebutuhan sejarah. Anda tak bisa melewatinya begitu saja, atau lari dari kekuatannya. . . . 
 
Victor Shklovsky, yang secara enteng meloncat dari formalisme verbal ke penilaian subyektif, menunjukkan sikap yang sangat memusuhi teori materialisme historis  seni. Dalam sebuah booklet yang dia publikasikan di Berlin, dengan judul The March of the Horse, dia memformulasikan sebuah nilai fundamental, dalam tingkatan tertentu juga tak terbantahkan,  argumen panjang Shklovsky-five (bukannya empat atau enam, tapi lima) melawan konsepsi materialis seni dalam tiga halaman kecil. Mari kita bersama-sama mempelajari argumen ini, karena toh untuk mengetahui guyonan seperti apa yang disebarkannya sebagai perlawanan terakhir dari pemikiran ilmiah (dengan ragam referensi ilmiah terbesar yang termuat dalam tiga halaman microscopik yang sama) tak akan membuat kita cedera.
"Jika lingkungan dan relasi produksi,' kata Shklovsky, 'telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas wilayah.' Well, bagaimana dengan kupu-kupu? Menurut Darwin, mereka juga terhubung dengan relasi-relasi khusus, tapi mereka toh terbang dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya sastra. 

Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memahami kenapa Marxisme selalu dicurigai mengutuk atau memperbudak tema-tema. Fakta bahwa orang yang berbeda dan orang yang sama dalam kelas yang berbeda mempergunakan tema yang sama secara sederhana menunjukkan betapa terbatasnya imaginasi manusia, dan betapa manusia mencoba untuk mempertahankan energi ekonomi dalam setiap jenis kreasi, bahkan dalam artsitik. Setiap kelas mencoba untuk memanfaatkan, hingga tingkatan yang tertinggi, warisan material dan spiritual dari kelas lainnya. 

Argumen Shklovsky dapat ditransfer secara sederhana ke dalam bidang tekhnik produktif. Mulai zaman kuno, wagon selalu didasarkan pada satu tema yang sama, yang disebut, as roda, roda, dan lampu. Tetapi, kereta patrisian Roma diadaptasi sesuai selera dan kebutuhannya, seperti halnya kereta Count Orloy, disesuaikan dengan kelembutan yang sesuai dengan selera Catherine the Great. Wagon petani Rusia diadaptasi sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya, pada kekuatan kudanya yang kecil, dan pada karakter jalan-jalan pedesaan. Otomobil, yang tak bisa dibantah merupakan produk dari tekhnik baru, menunjukkan tema yang sama, yang disebut empat roda dan dua as roda. Tapi saat kuda para petani mundur ketakutan terkena sinar lampu yang menyilaukan dari otomobil di jalanan Rusia pada malam hari, sebuah konflik dari dua budaya terefleksi dalam sebuah episode. 

"Jika lingkungan mengekspresikan dirinya sendiri dalam novel," makan muncullah argumen yang kedua, " ilmu pengetahuan Eropa tidak akan bersusah payah memikirkan dari mana cerita Seribu Satu Malam diciptakan, entah dari Mesir, India, atau Persia." Untuk menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang seniman, yaitu kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki memiliki karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis di Mesir, India atau Persia, karena kondisi sosial dari negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan. Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari novel tersebut menunjukkan bahwa novel itu merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun tak sama persis. Tak seorang pun bisa melompat diluar dirinya. Bahkan omelan dari seorang yang sakit jiwa  berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia luar sebelum dia sakit. Tapi adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai refleksi akurat dari dunia di luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang berpengalaman dan penuh perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang pasien, yang akan mampu menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau terdistorsi dalam isi omelannya
Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria. 

"Jika ciri-ciri kelas dan kelas sendiri terakumulasi dalam seni," Shklovsky melanjutkan, "lalu bagaimana bisa dongeng-dongeng orang Rusia yang beragam mengenai bangsawannya sama dengan dongeng tentang pendeta mereka?"
Dalam esensinya, ini hanyalah bentuk lain dari argumen yang pertama. Kenapa dongeng tentang bangsawan dan pendeta tidak boleh sama, dan apakah itu bertentangan dengan Marxisme? Proklamasi yang ditulis secara jelas oleh kaum Marxist seringkali membicarakan mengenai tuan tanah, kapitalis, pendeta, jendral dan penghisap lainnya. Tuan tanah tak bisa dibantah berbeda dengan kapitalis, tapi terdapat kasus dimana mereka dianggap serupa. Kenapa, karenanya, kesenian rakyat dalam kasus-kasus tertentu tidak boleh memperlakukan bangsawan dan pendeta sebagai wakil dari kelas yang berdiri di atas rakyat dan yang merampok mereka? Dalam kartun Moor dan Deni, pendeta bahkan sering berdiri berdampingan dengan tuan tanah, tanpa merusak analisa Marxisme.

"Jika ciri-ciri etnografis tercermin dalam seni," lanjut Shklovsky, " folklore tentang orang di luar batas folknya tak akan bisa terserap dan tak akan bisa dituturkan oleh folk yang lain."
Seperti yang anda lihat, argumen tersebut sama sekali tak bisa dijadikan sebagai serangan pada Marxisme. Marxisme tidak pernah menyatakan bahwa ciri-ciri etnografi mempunyai sifat independen. Sebaliknya, Marxisme menekankan adanya signifikansi ketergantungan formasi folklore pada kondisi-kondisi ekonomis dan alamiah. Kesamaan kondisi dalam perkembangan masyarakat beternak dan bertani, dan kesamaan dalam karakter hubungan pengaruh-mempengaruhi yang menguntungkan antara satu sama lain, tidak bisa tidak akan akan menggiring pada penciptaan folklore yang serupa. Dan dari cara pandang pertanyaan yang menjadi perhatian kita saat ini, kita dapat mengetahui bahwa pertanyaan ini tidak membedakan apakah tema homogen ini muncul secara independen diantara komunitas yang berbeda, sebagai refleksi pengalaman hidup yang homogen dalam ciri mendasarnya dan yang terefleksi melalui prisma homogen imajinasi para petani, atau apakah benih dari dongeng ini diseret angin yang ramah dari satu tempat ke tempat yang lain, mengakar dimanapun juga tanah mau menerimanya. Sangatlah mungkin, dalam realitanya, bahwa metode-metode tersebut terkombinasikan.

Dan akhirnya, dalam argumen kelimanya yang terpisah - "Rasio yang telah diajukan (Marxisme) salah”- Shklovsky merujuk pada tema seputar penculikan yang diangkat dalam komedi-komedi Yunani sampai dengan drama Ostrovsky. Dengan kata lain, pengkritik kita ini mengulangi, dalam bentuk khusus, argumennya yang terawal (seperti yang kita lihat, bahkan dalam menggunakan logika formal, formalis kita ini tak bagus juga). Benar, tema-tema memang bermigrasi dari rakyat ke rakyat yang lain, dari kelas ke kelas yang lain, dan bahkan dari penulis ke penulis yang lain. Ini menunjukkan bahwa imajinasi manusia bersifat ekonomis. Sebuah kelas tidak betul-betul menciptakan budayanya dari nol, tapi merebut kepemilikan kelas sebelumnya atas budaya sebelumnya, memecahnya, menyentuhnya, menggarapnya, dan membangunnya lebih jauh. Jika tak terjadi pemanfaatan tangan kedua seperti demikian, proses historis tak akan pernah mengalami perkembangan sama sekali. Tidak hanya tema drama Ostrovsky itu saja yang didapat melalui Mesir dan melalui Yunani, tetapi kertas dimana Ostrovsky mengembangkan temanya juga merupakan sebagai sebuah pengembangan dari papyrus Mesir dan perkamen Yunani. Mari kita mengambil analogi yang lain yang lebih dekat: fakta bahwa metode kritis dari para Sophis Yunani, yang merupakan kaum formalis di zamannya, telah berpenetrasi dalam kesadaran teoritis Shklovsky, tidak merubah sama sekali fakta bahwa Shklovsky sendiri merupakan sebuah produk yang apik dari sebuah lingkungan sosial tertentu dan zaman tertentu. 

Usaha menghancurkan Marxisme yang dilakukan Shklovsky dalam lima poinnya sangat mengingatkan kita pada artikel-artikel yang diterbitkan melawan Darwinisme dalam sebuah majalah The Orthodox Review pada masa lalu yang indah. Jika doktrin bahwa manusia berasal dari kera adalah benar, tulis Uskup berpendidikan Nikanor dari Odessa tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, maka kakek kita akan memiliki tanda-tanda semacam ekor, atau setidaknya akan pernah melihat ciri seperti itu pada kakek atau nenek mereka. Kedua, seperti semua orang ketahui, monyet hanya bisa melahirkan monyet. . . . Kelima, Darwinisme salah, karena dia menyangkal formalisme-maaf, maksud saya, keputusan formal konferensi gereja seluruh dunia. Keuntungan dari rahib berpendidikan ini terletak pada fakta bahwa dia merupakan passéist terang-terangan dan mengambil pedomannya dari Rasul Paulus dan bukan dari Fisika, Kimia atau Matematika, seperti sang futuris Shklovsky lakukan. 

Tak perlu dipertanyakan lagi kebenaran bahwa kebutuhan akan seni bukanlah diciptakan oleh kondisi-kondisi ekonomi. Kebutuhan akan pangan juga tak diciptakan oleh ilmu ekonomi. Sebaliknya, kebutuhan pangan dan kehangatan menciptakan ilmu ekonomi. Adalah benar bahwa seseorang tak bisa selalu menengok prinsip-prinsip Marxisme dalam memutuskan apakah akan menolak atau menerima sebuah karya seni. Sebuah karya seni harus, pertama kali, dinilai berdasarkan hukumnya sendiri, yaitu dengan hukum-hukum seni. Tapi Marxisme sendiri dapat menjelaskan kenapa dan bagaimana tendensi tertentu dalam seni bermula dalam periode tertentu sejarah; dengan kata lain, siapakah yang menciptakan tuntutan terhadap sebuah bentuk artistik dan bukan yang lain, dan kenapa. 

Akan kekanak-kanakan untuk berfikir bahwa setiap kelas mampu secara menyeluruh dan penuh menciptakan seninya sendiri dari dalam dirinya sendiri, dan, secara khusus, bahwa kaum proletariat mampu untuk menciptakan sebuah seni baru melalui gilda-gilda seni dan lingkaran-lingkaran tertutup, atau dengan Organisasi Budaya Proletar, dan sebagainya. Berbicara secara umum, karya artistik manusia selalu berkelanjutan. Setiap kelas yang baru tumbuh melekatkan dirinya pada bahu kelas sebelumnya. Tapi kontinuitas ini bersifat dialektis, yaitu dia menemukan dirinya sendiri melalui tabrakan-tabrakan dan perpecahan internal. Kebutuhan atau tuntutan artistik baru bagi cara pandang artistik dan susastra baru distimulasikan oleh ekonomi, melalui perkembangan sebuah sebuah kelas baru, dan desakan kecil yang dipasok oleh perubahan posisi kelas itu, dibawah pengaruh dari pertumbuhan kekayaan serta kekuasaan budaya kelas tersebut. 

Penciptaan artistik merupakan penggalian segala isi bentuk-bentuk lama yang rumit, di bawah pengaruh desakan baru yang berasal dari luar seni. Dalam pengertian yang besar, seni adalah buah tangan. Seni bukannya sebuah elemen terpisah yang mampu merawat dirinya sendiri, tapi seni adalah sebuah fungsi manusia sosial yang terikat pada hidup dan lingkungannya. Dan betapa berkarakternya–jika seseorang ingin mereduksi setiap ketakhayulan sosial ke dalam absurditasnya- seorang Shklovsky ketika dia sampai pada ide mengenai independensi mutlak seni dari lingkungan sosial dalam sebuah periode sejarah Rusia dimana seni mengungkapkan spiritualitasnya, lingkungannya dan ketergantungan materialnya pada kelas-kelas sosial, sub-kelas and kelompok-kelompok secara gamblang! 

Materialisme tidak menyangkal signifikansi dari elemen-elemen bentuk, baik dalam logika, yurisprudensi atau seni. Seperti halnya sebuah sistem yurisprudensi dapat dan harus dinilai dengan logika dan konsistensi internal, maka seni juga dapat dan harus dinilai dari sudut pandang pencapaiannya dalam bentuk, karena tak akan pernah ada seni tanpanya. Namun, teori yuridis yang dicoba untuk mengembangkan independensi hukum dari kondisi sosial akan cacat pada dasar terdalamnya. Kekuatan gerak hukum terletak pada bidang ekonomi-dalam kontradiksi-kontradiksi sosial. Hukum hanya memberikan ekspresi yang terharmonisasi secara internal dan ekspresi formal dari fenomena-fenomena ini, bukan tentang kekhususan-kekhususan individual, tapi tentang karakter umumnya, yaitu elemen-elemen yang terulang dan permanen didalamnya. Kita dapat melihat sekarang dengan secercah kejelasan dalam sejarah bagaimana hukum yang baru terbentuk. Ini tidak dilakukan dengan deduksi logis, tapi melalui penilaian empirik dan penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan ekonomis dari kelas penguasa baru. 

Sastra, yang metode dan prosesnya memiliki akar jauh di masa lalu dan mewakili pengalaman akumulatif dari kepengrajinan verbal, mengekspresikan pemikiran, perasaan, suasana hati, sudut pandang dan harapan dalam era baru dan kelas barunya. Kita tak bisa melompati tahap ini. Dan tak ada gunanya untuk melompatinya, setidaknya, bagi mereka yang tidak mengabdi pada masa lalu atau kelas yang telah hidup lebih lama dari kekuasaannya. 

Metode analisis formal memang dibutuhkan, tapi tidak mencukupi. Anda bisa menghitung jumalah aliterasi dalam mazmur-mazmur populer, mengklasifikasikan metafora, menghitung jumlah huruf vokal dan konsonan dalam sebuah lagu pernikahan. Ini tentu saja memperkaya pengetahuan kita akan seni rakyat, dalam satu atau beberapa segi lainnya; tapi jika anda tidak paham akan sistem bercocok tanam para petani, dan kehidupan yang didasarkan pada sistem ini, jika anda tidak tahu bagian permainan-permainan celurit, dan jika anda tidak menguasai makna dari kalender gereja bagi para petani, periode waktu dimana para petani menikah, atau dimana para petani perempuan melahirkan, anda hanya akan memahami lapisan luar kesenian folk, tapi bagian terpentingnya tidak akan pernah teraih.
Pola arsitektural dari katedral Cologne bisa dibentuk dengan cara menghitung dasar dan tinggi dari tapaknya, dengan menentukan tiga dimensi pada bagian tengahnya, dimensi-dimensi dan penempatan kolom-kolomnya, dan seterusnya. Tapi tanpa tahu seperti apa kota di abad pertangahan, apakah gilda itu, dan apakah makna dari gereja Katolik dalam abad pertengahan, katedral Cologne tak akan pernah bisa dipahami. Usaha untuk memisahkan seni dengan kehidupan, untuk mendeklarasikan kemandirian kerajinan dalam dirinya, mendevitalisasi dan membunuh seni. Kebutuhan akan tindakan seperti itu merupakan sebentuk peringatan yang tak mungkin meleset tentang adanya kemunduran intelektual. 

Analogi antara argumen-argumen teologis dan Darwinisme yang disebutkan di atas mungkin terkesan tak berhubungan dan anekdotal bagi pembaca. Mungkin benar, untuk beberapa segi. Tapi sebuah hubungan yang lebih dalam memang ada. Teori formalis tak pelak akan membangkitkan kenagan kaum Marxist yang telah membaca semua lagu-lagu akrab berisikan melodi filosofis yang sangat kuno. Para ahli hukum dan dan kaum moralis (untuk mengingat kembali secara acak Stammler si orang Jerman, dan kaum subyektivis kita Mikhailovsky) mencoba untuk membuktikan bahwa moralitas dan hukum tak bisa ditentukan oleh kondisi ekonomi, karena kehidupan ekonomi tak mungkin berada diluar norma etis dan yuridis. Nyatanya, kaum formalis hukum dan moral tak pernah melangkah sampai titik dimana mereka mampu memperlihatkan independensi total hukum dan etika dari ekonomi. Mereka mengakui hubungan tertentu yang mutual dan komplek. Mereka mengakui keberadaan 'faktor,’ dan faktor-faktor ini, meski mempengaruhi satu sama lain, mempertahankan kwalitas substansi-substansi independen, datang tanpa seorangpun tahu darimana asalnya. Penegasan atas independensi total dari faktor estetik dari pengaruh kondisi-kondisi sosial, seperti yang dirumuskan oleh Shklovsky, merupakan sebuah contoh dari hiperbola spesifik yang akarnya terletak pada kondisi-kondisi sosial juga; ini adalah megalomania estetika yang menyalakan realita kehidupan yang berat pada kepalanya. Lepas dari ciri khusus ini, konstruksi kaum formalis menunjukkan metodologi yang salah, sama dengan apa yang setiap jenis idealisme lain punyai. 

Bagi seorang materialis, agama, hukum, moral dan seni merepresentasikan aspek-aspek terpisah dari satu kesatuan dan proses pembangunan sosial yang sama. Meski mereka membedakan dirinya dari dasar industrialnya, bertumbuh semakin komplek, memperkuat dan mengembangkan sifat-sifat istimewanya dalam detil-detil, politik, agama, hukum, etika dan estetika tetap mempertahankan fungsi manusia sosial dan mengikuti hukum-hukum organisasi sosialnya. Kaum idealis, pada lain pihak, tidak melihat sebuah kesatuan proses perkembangan historis yang mengembangkan organ-organ dan fungsi yang perlu dari dalam dirinya sendiri, tapi lebih sebagai sebuah penginteraksian, pengkombinasian, dan persinggungan prinsip-prinsip independen tertentu- substansi-substansi agamis, politis, yuridis, estetik dan etis, yang mempunyai sebab dan penjelasan dalam diri mereka sendiri. 

Idealisme (dialektis) Hegel merancang substansi-substansi semacam ini (yang merupakan kategori-kategori abadi) dalam beberapa urutan dengan cara mereduksi mereka menjadi sebuah kesatuan genetik. Lepas dari fakta bahwa kesatuan ini bagi Hegel adalah roh absolut, yang membagi dirinya sendiri dalam sebuah proses manifestasi dialektisnya menjadi beragam "faktor," sistem Hegel, karena sifat dialektisnya, bukan karena idealismenya, memberikan sebentuk gambaran realita historis seperti dalam ilustrasi sebuah tangan manusia yang dilepaskan dari sarung tangannya.

Tapi kaum formalis (dan wakil terjeniusnya, Immanuel Kant) dalam hari dan jam penyingkapan filosofisnya, tidak mencermati seluruh dinamika perkembangan, melainkan hanya pada satu bagian persinggungannya saja. Mereka mengungkapkan kompleksitas dan keberagaman obyek yang terdapat dalam dalam garis pertemuan itu (bukannya proses, karena mereka tidak memikirkan tentang proses-proses). Kompleksitas ini mereka analisa dan kelompokkan. Mereka memberi nama pada elemen-elemen, yang serta merta ditransformasikan dalam esensi-esensi, dalam sub-absolut, tanpa ayah dan ibu; dalam gurauan, agama, politik, moral, hukum, seni. Di sini kita tak lagi mendapati sarung tangan sejarah yang terobek saja, tapi juga kulit jari yang terkoyak, dijemur dalam suhu abstraksi penuh, dan tangan sejarah ini menjadi produk dari “interaksi” ibu jari, jari telunjuk , jari tengah, dan semua "faktor-faktor" lainnya. Jari kelingking merupakan "faktor" estetik, bagian yang terkecil, tapi bukannya yang terakhir dicintai. 

Dalam biologi, vitalisme adalah variasi-variasi pemujaan mutlak yang sejenis dalam menunjukkan aspek-aspek berbeda dari proses dunia, tanpa pemahaman atas relasi internal. Seorang pencipta adalah semua yang tak memiliki estetika atau moralitas absolut dan supersosial, atau “kekuatan vital” absolut superfisikal. Keberagaman faktor-faktor independen, "faktor-faktor" yang tak berawal dan berakhir, tidak lain adalah sebuah politeisme bertopeng. Seperti halnya idealisme Kantian secara historis mewakili sebuah terjemahan Kekristenan dalam bahasa filsafat rasionalistik, semua jenis formalisasi idealistik, baik yang terbuka maupun rahasia, menggiring kita pada figur tuhan, sebab dari segala sebab. Dalam perbandingan dengan oligarki sekumpulan sub-absolut filsafat idealis, seorang individu pencipta tunggal hanyalah satu elemen dalam deretan yang ada. Di sinilah  terletak hubungan yang lebih dalam antara penolakan kaum formalis terhadap Marxisme dan penolakan teologis terhadap Darwinisme. 

Mazhab formalis adalah idealisme gagal yang diterapkan pada pertanyaan seni. Kaum formalis menunjukkan sebuah relijiusitas yang matang. Mereka adalah pengikut Santo Yohanes. Mereka percaya bahwa "pada mulanya adalah Firman." Namun kita percaya bahwa pada mulanya adalah perbuatan. Sang kata mengikuti, sebagai bayang-bayang fonetiknya***

Kehasilan Indonesia yang Diangkat ke Tanah Belanda Tiap-Tiap Tahun Yaitu 500.000.000,-

Semaoen (1925)

Eropa, Januari 1925
Tuan-tuan!
Rasa kebangsaan yang ada dalam dadanya kaum buruh dan tani memaksa pada kami menulis surat ini pada tuan-tuan.
Dalam negeri lain bangsa, maka kami tertarik dalam pikiran susah dalam masa yang  akhir-akhir ini, pertama oleh kabar-kabar tentang negeri, rakyat dan bangsa kita, kedua oleh sikapnya negeri Belanda terhadap pada kita orang Indonesia.
Lima puluh juta jiwa Indonesia bertempat dalam kepulauan yang lebarnya 53 kali begitu besar dari negeri Belanda, ada di bawah sepatunya satu kaum dari satu bangsa yang hanya memikirkan keuntungan negerinya sendiri saja, dengan tidak memperdulikan nasibnya kita bangsa Indonesia. Apa sebab bangsa kecil dari barat ini bisa membikin koset-kaki pada kita? Sebab kaum priyayi, yang dalam urusan pemerintahan negeri kita memegang pangkat-pangkat negeri 95% dari jumlahnya pangkat-pangkat yang ada (satu resident dan beberapa biji orang Belanda seperti Asistent Resident, controleurs, officiers, commissarissce politie, dsb., dibantu oleh beratus-ratus lurah, carik, serdadu, politie agenten, menteri, asisten-wedana, wedana, patih, kenjeng jaksa dan sebagainya) sama menurut saja.
Beratus-ratus bangsa kita sendiri, kaum priyayi, sudah menaruh kepalanya di bawah sepatunya sedikit orang pegawai Belanda.
Beratus-ratus bangsa kita, yang katanya punya darah-adhi, yang katanya sastrawan, yang mestinya, bunganya kebangsaan Indonesia. Sekarang sama menurut saja pada sedikit orang-orang Belanda itu, menurut saja meskipun hanya dijadikan anjing penjagaan buat keperluannya negeri Barat ini saja. Ya, tuan-tuan, meskipun tuan-tuan pegang pangkat Bupati, atau lurah desa, apakah kekuasaan tuan-tuan? Tidak berhak mengatur negeri, tetapi mesti menjalankan saja peraturan-peraturan negeri yang dibikin oleh orang-orang “witten” sebagai Gouverneur-general dan konco-konconya Si Putih itu saja!
Jadi tuan-tuan hanya dipakai sebagai perkakas untuk menjalankan kemauannya bangsa lain itu, kemauan putih yang sejatinya melawan pada keperluan bangsa kita Indonesia.
Tuan-tuan dibayar buat menjadi anjing-anjing itu? Oh, mukoklah dan heranlah kami kalau ingat bahwa bangsa kami yang disebut “priyayi” suka menjadi anjing-Belanda karena “dibayar” dengan uang dan pangkat. Dimanakah darah priyayi itu kalau suka menjadi anjing karena uang dan pangkat saja? Sedang uangnya untuk bayar itu …. hanya di dapat dari keringatnya Rakyat sebangsa tuan-tuan sendiri, dari pajak-pajak dan pekerjaannya kaum buruh dan tani di negeri kita …..!
Itulah sebabnya, tuan-tuan, bangsa-bangsa lain melihat pada kita orang sebagai”budak belian” yang tidak berpangkat manusia.
O, menangislah kami dalam hati, mengetahui hal ini. Tetapi kami tidak akan menangis dalam hati saja. Karena itu kami berikhtiar merubah keadaan kita dengan bicara terus terang adanya perkara pada tuan-tuan.
Lihatlah:
Di Indonesia ada bekerja bank-bank, pabrik-pabrik, onderneming-onderneming dan sebagainya kira-kira f 3.000.000.000 yang menarik keuntungan tiap-tiap tahun rata-rata 10% atau f 300.000.000,-
Buat bayar pensiun orang-orang Belanda tiap-tiap tahun ditarik f 10.000.000.000. – perdagangan cita, lawon dan sebagainya memberi keuntungan pada negeri Belanda tiap-tiap tahun tidak kurang dari pada f 40.000.000,-.
Buat bayar orang-orang Belanda (goepernoer jendral, ingenieur, inspecteurs dan sebagainya) tiap-tiap tahun rata-rata f 50.000.000,-.
Buat kasih keuntungan pada modal Belanda lain-lain, seperti kasih renten pinjaman luar negeri, ongkos Belanda pergi verlof dan sebagainya, saban tahun rata-rata f 40.000.000,-.
Total kurang lebih f 450.000.000,- atau f 500.000.000,- saban tahun diangkat dari negeri kita buat keperluannya negeri Belanda sini. Rata-rata saban tahun 1 jiwa, tua-muda, bayi, dan nenek-nenek, laki-perempuan Indonesia, mesti kasih f 10,- buat negeri Belanda, ialah kaum modalnya!
Ini Belanda sudah isap kita, dan juga ambil semua cahaya Indonesia, sebab dia orang dapat pangkat “bangsa-besar” di dunia, tetapi buat kita hanya ketinggalan dapat titel bangsa taklukan atau budak.
Apakah jadinya karena hal-hal di atas itu? Di negeri Belanda sini, tuan-tuan, hampir semua orang hidup di gedong-gedong, mempunyai kursi-kursi yang memakai kasur, mempunyai pakaian yang baik-baik, makan cukup, tidak banyak penyakit, bisa membikin sekolahan tinggi buat anak-anaknya, dimana-mana kelihatan kaya, sehingga dia orang tidak mau merubahnya atau merubah negerinya menjadi negeri kaum buruh. Inilah yang kami lihat sendiri di negeri Belanda selama dua tahun, tuan-tuan. Dan di negeri kita:
Rakyat kita rumahnya bobrok, satu hari makan, lain hari tidak bisa membeli ikan, bale-bale saja perhiasan rumah kita, sekolahan tiada cukup adanya, penyakit terlalu banyak, anak priyayi tidak bisa ditanggung bisa jadi kanjeng semua, familinya serdadu, politie-agent, veld politie-agent, marichausee, ada yang sudah satu tahun tidak bisa dapat pekerjaan sehingga menjadi pencuri, anak perempuan familinya tuan-tuan ada yang terpaksa menyundel, sanak famili tuan-tuan ada yang mengeluh susah kekurangan ini dan itu dan begitulah seterusnya.
Sebab orang rezeki usaha Rakyat Indonesia diangkat alus-alusan ke negeri Belanda sehingga penuh disini, kosong di negeri kita. Semakin tahun ditambah disini, tetapi semakin tahun dikeruk gemuknya negeri, rakyat dan bangsa kita.
Tuan-tuan!
Ini “rampasan” buat negeri Belanda terlalu amat enak. Dari enaknya mereka akan terus berikhtiar berbuat itu dan tidak sama sekali akan suka memperhatikan dan memerdekakan rakyat serta bangsa di negeri kita dari isapan itu; karena itu omong kosonglah orang-orang yang mengira Gouvernment Belanda bisa baik hati pada kita.
Dan buat permainan “ambil dengan alus-alusan” inilah, tuan-tuan Gouvernment Belanda beli tuan-tuan punya jiwa dengan…. Uangnya, pajaknya Rakyat kita sendiri, serta dengan kata manis-manis dan membagi-bagi …. Bintang dan pita oranye! Supaya priyayi seperti anak-anak kecil bungah dan besar hati dan setia pada “papa” kanjeng Gouvernment itu, meskipun “papa” tadi bisanya Cuma membrandal kekayaan negeri kita saja.
O, tuan-tuan! Apakah perlunya tuan-tuan suka jadi perkakas anjing-anjingnya Belanda itu? Sungguhlah, rasa kesetiaan tuan harus memberontakkan pada tuan-tuan punya hati. Tuan-tuan punya dada harus terbuka dan kemasukan jiwa prajurit dan pahlawan Indonesia melawan itu.
Hanyalah Partai Kommunist Indonesia, Sarekat Rakyat, dan kumpulan-kumpulan kaum buruh seperti V.S.T.P, dan sebagainya itulah yang tahu terang kejahatannya kaum modal Belanda itu dan mengajak melawan itu. Karena itu ada beberapa guru-guru, guru bantu dan juga ada priyayi-priyayi sama membantu kumpulan-kumpulan merah tadi. Tetapi apa kata? Gouvernment melarang satria-satria tadi untuk turut-turut berikhtiar memerdekakan Rakyat. Saudara-saudara kita malah dilarang membaca organ-organ kita seperti:
Api, Soeara-Rakyat, keluar di Semarang.
Pandoe Merah, keluar di Amsterdam dan sebagainya, dan lain-lain lagi. Baru baca tulisan-tulisan untuk keperluannya Rakyat saja sudah dilarang! Janganpun menjadi lid partai-partai kita buat turut berikhtiar memperbaiki nasib rakyat dan negeri kita!!!
Tuan-tuan!
Ingatlah ini! Ketahuilah kejahatan-kejahatan yang timbul dari si kaum modal Belanda ini. Ingatlah hati-hati itu kalau tuan disuruh:
1. Membubarkan vergadering-vergadering rakyat.
2. Menggoda vergadering-vergadering itu dengan membikin rewel fatsal bewijs van lidmaatschap, ladenlijst, bicara keras sampai kedengaran di luar lalu lantas disuruh mengatakan “openlucht” disuruh bikin conferentie dessa buat menghalang-halangi orang-orang Rakyat datang di vergaderingnya partai kita, atau melarang anak-anak muda kurang dari 18 tahun ada datang di vergadering-vergadering tersebut, atau menyetop saudara-saudara kita yang berbicara terus terang sebetul-betulnya di muka rakyat, atau disuruh bikin “delik” “spreekdelicten” atau mem-“spreekdelicten” dan lain-lain akal untuk menghalang-halangi vergadering-veragdering kita, ingatlah pada dosanya Gouvernment pada tuan-tuan punya bangsa, negeri dan Rakyat, tuan-tuan. Kalau tuan-tuan mau menurut saja pada akal membungkam jalan ikhtiar Rakyat untuk mencari kemerdekaannya itu, maka haraplah ingat pada dosanya Gouvernment dan lalu jagalah keperluannya Rakyat yang dipermainkan itu yaitu oleh Gouvernment tersebut.
3. Kalau tuan-tuan ada sangkalan ada kumpulan atau vergadering rahasia, apa itu Gouverneur-generaal dan konco-konconya bisa tahu kalau tuan-tuan bangsa kita sendiri tidak “repot” dan “menangkap”? Tentu tidak! Na, disinilah tuan-tuan bisa turut-turut berikhtiar untuk keperluannya tuan-tuan punya bangsa, Rakyat dan negeri sendiri, sebab orang-orang Belanda tidak mengerti betul bahasa kita dan tidak bisa tahu apa-apa tentang hal-hal yang kejadian di desa-desa dan di kampung-kampung serta lain-lain tempat. Tuan-tuan bangsa kita yang menjadi priyayi, serdadu, velppolitie dan mata-mata, ketahuilah kewajiban tuan-tuan terhadap pada Rakyat dan ikhtiar mereka yang mencari kemerdekaannya Indonesia.
4. Ingatlah, tuan-tuan! Kita Rakyat kekurangan sekolahan; sekolahan-sekolahan rakyat didirikan oleh kaum Kommunist, tetapi apa lacur sekolahan-sekolahan kita lalu disuruh menghalang-halangi dan ada yang sampai tertutup! Siapa yang kasih repot pasal “bahayanya” sekolahan-sekolahan kita? (semua keperluan Rakyat kita dan berbahaya buat kaum modal Belanda). Belanda tidak bisa tahu hal itu kalau tidak ada bangsa kita yang “repot-repotan”. Ingatlah, tuan-tuan yang mau bikin repot, ingatlah pada dosanya Gouvernment Belanda terhadap kita.
5. Belanja kaum buruh terus turun, juga penghasilannya agent-agent polisi dan serdadu terus kurang, sedang sanak familinya banyak yang kesusahan, akan tetapi…. Mogok untuk berikhtiar sungguh-sungguh menaikkan belanja umum disuruh tindas oleh Gouvernment! Tuan-tuan, berontaklah perasaan tuan-tuan kalau disuruh menindas begitu.
6. Pajak Rakyat terus naik, Rakyat gemi tidak beli “korek-api”, sebab ada “korek-nekel-batoe-api”, tetapi Gouvernment memajaki berat pada “api model baru”, itu dan Rakyat mesti beli itu perkakas gemi semahal-mahalnya Tuan-tuan, ingatlah pada dosanya Gouvernment.
Kewajiban tuan-tuan ialah turut berikhtiar kasih pengajaran pada buaya-buaya modal Belanda itu, yaitu dengan protes keras tidak mau menuruti pada pemerintah Gouvernment untuk menindas gerakan kita Rakyat dengan jalan terang atau dengan jalan gelap, yaitu “nabok keperluan modal Belanda dengan  pinjam tangan”. Ingatlah kalau mau membikin repottan, tuan-tuan. Kalau gerakan kita kekurangan modal gerak, bantulah juga dengan kasih uang pakai jalan rahasia. Dan juga bantulah dengan tutup mata, pura-pura tidak tahu apa-apa dan sebagainya supaya Rakyat bisa atur gerakannya “siem-siem”, ya tuan-tuan?
Pasal saudara-saudara kita serdadu, opas-opas, agen polisi di kota-kota, veldpolitie, marechaussee dan sebagainya, ingatlah saudara-saudara pada saudara-saudara, punya famili orang-orang tani dan buruh; ingatlah pada masuknya famili saudara-saudara itu,, yaitu kita punya musuh si brandal-brandal kaum modal Belanda. Sampai sekarang Goepernement-nya lain bangsa ini bisa mengadu dengan jalan kasar dan alus perasaan kita dari Ambon terhadap pada saudara-saudara kita dari Menado, perasaan Menado supaya benci pada Jawa dan sebaliknya perasaan Jawa diadu dengan perasaan Madura disuruh benci pada Sunda dan begitu seterusnya sebab dengan adu-mengadu itu pun Gouvernement Belanda lalu bisa kuat buat menindas kita orang bersama-sama. Ketahuilah akal buaya modal Belanda ini dan bersatulah kita orang Rakyat-rakyat dari seantero Indonesia di golongan militer, veld politie, politie dan lain-lain bersama-sama dengan Rakyat buruh dan tani moelai New-Guinea sampai Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Timoer sampai Borneo, padang sampai Makasar dan Pontianak, pendek bersama-sama Rakyat antar Indonesia, yang bersama diadu lalu dihina bersama, diperas dan ditindas bersama oleh satu musuh bersama yaitu kaum modal Belanda dan ia punya Goepernement. Ingatlah pada pemerasan dan penindasan serta isapan di mana-mana di Indonesia sekarang ini. O, saudara-saudara kaum militer dan saudara-saudara agenten politie segala golongan dan sesudahnya ingat, sediakanlah saudara-saudara punya senjata buat bersatu gerak dengan semua rakyat-rakyat Indonesia supaya kita bersama dalam saatnya yang baik bisa mengusir bersama pemeras dan penindas putih itu.
Dengan bantuan tuan-tuan dan saudara-saudara pakai jalan terang dan alus serta lain-lain akal ikhtiar lagi maka tuan-tuan dan saudara-saudara akan dapat hadiah Rakyat yang kemudian merdekakan diri dari tindasan dan pemerasannya kaum modal si brandal-brandal itu, begitulah saudara-saudara dan tuan-tuan akan punya arti satria dalam hikayatnya  negeri kita dan hikayat dunia.
Berdirilah tegak dalam barisan terang dan gelap melawan musuh-musuh kita, tuan-tuan dan saudara-saudara. Lemparkanlah ke bawah itu buaya-buaya putih yang menaruh sepatunya di atas tuan-tuan dan saudara-saudara punya kepala.
Berontaklah tuan-tuan dan saudaara-saudara punya hati untuk membela keperluan negeri, bangsa dan Rakyat Indonesia, dan lawanlah kaum brandal putih yang memeras, menghisap kekayaan Indonesia, menindas gerakan Rakyat yang berikhtiar memerdekakan diri itu. Jangan lupa, tuan-tuan dan saudara-saudara.
Dari kami tiga orang anak Indonesia yang mempelajari politik macam-macam negeri di antero dunia: Abdoellah, Wen Tu dan Noto.
N. B. Tuan-tuan dan saudara-saudara, kalau sebenarnya tuan-tuan dan saudara-saudara orang yang satria, maka kalau habis dibaca janganlah dibuang, tetapi sebarlah di mana-mana antara kaum priyayi, serdadu dan polisi-polisi segala golongan dan bangsa kita di Indonesia. Caranya menyebarkan: masukkan dalam amplop, alamatkan pada salah satu yang tuan-tuan atau saudara-saudara tuju, tutuplah amplopnya dan taruh postzegelnya. Lalu masukkan di bus postkantoor biar dikirim terus. Sebagai afzender taruh saja nama bikin-bikinan seperti: Soeto, kampung Jagalan, Bandoong atau lain-lain sebagainya lagi. Biar tidak bisa diketahui siapa yang menyebarkan ini surat kepentingan Indonesia. Ini waktu sudah banyak dari surat ini masuk dimana-mana keprajian, lurah-lurah desa tangsi-tangsi dan sebagainya, tetapi meskipun begitu sebarkanlah ini terus menerus sampai semua bangsa kita tahu maksudnya mencari kemerdekaan Rakyat kita ini. Dan lagi: Kalau menulis alamat putarlah tangan tulisan, biar musuh kita tidak bisa urus siapa yang mengirim.

Rabu, 07 Maret 2012

NABI MUHAMMAD SAW MENGAJARKAN SOSIALISME JAUH SEBELUM KARL MARX

NABI MUHAMMAD SAW MENGAJARKAN SOSIALISME JAUH SEBELUM KARL MARX

Menurut "Buku putih" (G.30-S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan oleh Sekneg pada tahun 1994, bahwa pertentangan di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya Kongres, tapi usaha mereka ini ditentang oleh seorang tokoh SI, H.Agus Salim. H. Agus Salim menjawab semua argumen Semaun dan Tan Malaka dengan mengatakan bahwa, "Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx" (hal: 11).

Sangat sayang, H. Agus Salim tidak menjelaskan isi ajaran Sosialisme yang diberikan Nabi Muhammad tersebut  dan juga tidak menjelaskan mengapa setelah 14 abad lamanya, ajaran sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad itu belum membumi. Ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad tsb tentu bersumber dari dari Al Quran. Marilah kita kaji ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran dan tanggapan sementara tokoh-tokoh agama Islam terhadap sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad.

Konsep Keadilan Kolektif

Islam pada dasarnya merupakan agama pembebasan, ujar Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas". Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir.

Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Mekkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", akan tetapi lebih bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta. Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan.

Dalam perspektif teologi kaum tertindas, ujar Mansour Fakih, peran seorang Rasul seperti Muhammad, Isa dan yang lain adalah sebagai seorang pembebas kaum tertindas. Musa, misalnya, sebagaimana Muhammad juga, tugas utamanya adalah membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan Firaun. Watak dari teologi pembebasan untuk kaum tertindas ini, selanjutnya juga telah dikembangkan oleh kelompok Khawarij. Merekalah yang pertama-tama dalam sejarah Islam mengembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama.

Kebangkitan gerakan Khawarij juga dilatar belakangi oleh fenomena kontradiksi ekonomi yang muncul dalam bentuk persoalan kepemimpinan dan masyarakat. Kontradiksi ini melahirkan kelompok Khawarij, suatu aliran yang menekankan pada konsep keadilan kolektif. Konsep keadilan kolektif inilah yang jadi asal muasal pandangan sosialistis dalam Islam (hal: 172-173, dalam buku "Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam", 1989) Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb tentu adalah sosialisme yang hendak membebaskan kaum tertindas dan menjadikan kaum tertindas tsb sebagai pemimpin di bumi dan itu adalah tingkat rendah dari masyarakat Tauhidi (ummat yang satu, tanpa kelas-kelas).

Sosialisme Dalam Al Quran

Ajaran-ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad SAW tentu berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran. AL Quran cukup jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, hendak menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadhafin) menjadikan pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, guna menuju ummat yang satu (tauhidi). Marilah kita cermati ayat-ayat tsb.

A. Terkutuklah Orang-Orang Yang Menumpuk-Numpuk Harta

Bahwa Islam menentang sistem kapitalisme cukup gamblang diwakili oleh Surat al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).Menjadi pertanyaan: dari mana mereka peroleh harta yang mereka tumpuk-tumpuk tsb? Tentu tidak hanya dari hasil keringatnya sendiri, melainkan juga dari hasil keringat orang lain, dengan melalui berbagai cara yang tidak halal. Padahal surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: "Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya".

Juga cukup jelas surat Al An'am ayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir. Haram memakan darah yang mengalir itu bukan hanya secara harfiah, misalnya melukai sebagian kulit seseorang kemudian dihirup darahnya yang mengalir di tempat yang dilukai tsb, tetapi yang lebih mendalam ialah menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Seperti yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum buruhnya. Kaum buruhnya tidak akan bisa diperas atau dihisapnya, sekiranya darahnya tidak-mengalir lagi dalam tubuhnya. Jadi, menghisap tenaga kerja kaum buruh, adalah sama dengan memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh tsb.

Menurut HOS Tjokroaminoto melalui bukunya "Islam dan Sosialisme" yang ditulisnya pada bulan November 1924 di Maitarat, bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" (nilai lebih -pen) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx dan "memakan riba", sepanjang fahamnya Islam (hal: 17).

B. Yang Tertindas Hendak Dijadikan Pemimpin

Bahwa agama Islam itu adalah agama pembebasan bagi kaum tertindas dan miskin,jelas sekali dikemukakan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi."Dari ayat ini jelas sekali bahwa Tuhan secara terbuka memihak kepada kaum mustadhafin dalam perjuangannya melawan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tuhan tidak bersikap netral dalam pertentangan antara kaum tertindas melawan kaum penindas. Bila kaum mustadhafin sudah menjadi pemimpin di bumi, maka tentu telah tertutup jalan bagi kaum mustakbirin melakukan penindasan lagi terhadap kaum Mustadhafin dan itulah Sosialisme Islam. Menurut Asghar Ali Engineer melalui bukunya "Islam dan Pembebasan" bahwa pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatakan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya dan miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat "tanpa kelas". Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al Quran menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islam lah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner transformatif dan membebaskan itu (hal: l4). Penilaian Asghar Ali Engineer yang terakhir ini sejalan dengan penilaian Ulil Abshar Abdallah melalui bukunya "Membakar Rumah Tuhan". Menurut Ulil Abshar Abdallah bahwa persis hal ini dengan apa yang terjadi pada agama Islam: semula menjadi agama emansipatoris yang membawa aspirasi pembebasan dan perubahan, sekarang menjadi agama yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo) (1999, hal: 44).

C. Masyarakat Tauhidi, Tanpa Kelas-Kelas

Cukup jelas Tuhan melalui surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: "Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku. "Menurut Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas", bahwa doktrin tauhid adalah tema pokok setiap teologi dalam Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif "teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas (hal: 173). Dalam masyarakat Tauhidi ini, ummat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dsb. Dan itu adalah sama dengan masyarakat komunis. Masyarakat Tauhidi ini, adalah tingkat yang lebih tinggi dari masyarakat yang dijanjikan Tuhan: "Akan menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi." Untuk bisa membuminya isi surat Al Qashash ayat 5-6 sebagai langkah awal menuju masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), maka kaum mustadhafinharus mengamalkan Surat Al Ra'du ayat 11, yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka. "Menurut petunjuk Al Quran tsb, bila kaum Mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak mengubah keadaan diri mereka, tidak berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin. Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin. Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx, "usaha kaum" dalam bahasa Ar Ra'du ayat 11.Malahan supaya kaum mustadhafin ini bisa bebas dari penindasan, Tuhan memperingatkan ummat Islam melalui surat An Nisa ayat 75: "Mengapa kamu tiada mau berperang di jalan Allah dan (membela) orany-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan kanak-kanak yang semuanya berdoa: "Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisiMu". Dengan demikian jelas bahwa berjuang (berperang) diizinkan Al Quran untuk mengakhiri kezaliman dan untuk melindungi orang-orang yang lemah dari penindasan orang-orang kuat. Al Quran tidak mengizinkan berperang untuk memaksa seseorang memeluk agama Islam. Hal itu dengan tegas telah dikatakan Tuhan: "La ikraha fi al Din" (tidak ada paksaan dalam agama). Malah surat Al Kafirun dengan tegas mengatakan: "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".

Titik Pertemuan Islam Dan Komunisme

AK Pringgodigdo SH dalam bukunya "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia" mengemukakan bahwa H. Misbach, seorang komunis keagamaan 76 tahun yang lalu, di depan Kongres PKI di Bandung pada tanggal 4 Maret 1925 menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran, hal-hal yang bercocokan antara komunisme dan Islam (antaranya, kedua memandang sebagai kewajiban, menghormati hak-hak manusia dan bahwa keduanya berjuang terhadap penindasan) dan diterangkannya juga, bahwa seseorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia seorang Islam sejati; dosanya itu adalah lebih besar lagi, kalau orang memakai agama Islam sebagai selimut untuk mengkayakan diri sendiri. Komunisme menghendaki lenyapnya kelas-kelas manusia (hal: 28). Seorang Bung Karno melalui tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" mengatakan: "Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula"; "Islamis yang "fanatik" dan memerangi marxisme, adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri"; "Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan" (DBR, hal: 12-15-14).

Kesimpulan

H. Agus Salim benar bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan Sosialisme seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx. Karena Manifes Komunis yang terbit pada tahun 1848 adalah hasil studi Karl Mark tentang perkembangan sistem masyarakat sebelumnya. Tentu juga termasuk, baik secara langsung atau tidak, Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb. Karena tujuan yang hendak dicapai Islam dengan komunis sama-sama masyarakat tanpa kelas (Tauhidi-komunis) dan hal itu akan terwujud melalui tingkatan masyarakat sosialis (mustadhafin menjadi pemimpin di bumi). Masyarakat sosialis baru terwujud atas "usaha kaum" atau perjuangan kelas, maka sudah pada tempatnya kerjasama komunis untuk merebutnya. Hanya saja kaum kapitalis (mustakbirin) berkepentingan mencegah terjadinya kerjasama Islam dan komunis, agar kaum kapitalis tetap dapat berkuasa. Karena Sosialisme adalah ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri, maka semestinya setiap yang mengaku Muhammad itu adalah Rasullullah, ia akan memperjuangkan untuk adanya sosialisme itu. Itu sebagai langkah awal untuk membuminya masyarakat Tauhidi di Indonesia. Karena itu terasa aneh, karena dewasa ini di Indonesia, tidak ada satu partai yang memakai bendera Islam yang mengibarkan panji-panji Sosialisme. Malah ada yang menentang Sosialisme.

Hal itu sudah disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa ada orang Islam yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo). Sesungguhnya orang yang mengaku Islam, tetapi tidak berjuang untuk membumikan masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), tentu dipertanyakan keIslamannya: apakah mereka benar-benar pengikut Nabi Muhammad Saw, atau tidak? Jika ya, tentu mereka akan mendukung tegaknya masyarakat Tauhidi tsb. Bila tidak, soalnya menjadi lain.