Leon Trotsky
Ditulis:
Tahun 1923
Sumber: Marxists.org,
The Social Roots and the Social Function of Literature
Perdebatan mengenai
“seni murni” dan seni bertendens sering terjadi diantara kaum liberal dan kaum
“populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan kita. Dialektika
materialis berdiri di atas ini; dari cara pandang proses historis yang
obyektif, seni selalu merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah selalu
bersifat utilitarian. Seni memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana
hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan
perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan
perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume
pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada
pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan
bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh
permasalahan apakah seni tersebut muncul di bawah bendera seni yang “murni”
ataupun yang jelas-jelas bertendensi pada kasus tertentu.
Dalam perkembangan sosial
masyarakat kita (Rusia), keberpihakan merupakan panji-panji kaum intelektual
yang berusaha untuk membangun hubungan dengan rakyat. Kaum intelektual yang
tak mempunyai kekuatan tersebut, dihancurkan oleh kekaisaran dan kehilangan
lingkungan budaya, berusaha mencari dukungan pada strata bawah dalam
masyarakat dan membuktikan kepada “rakyat” bahwa mereka berfikir, hidup, dan
mencintai rakyat "secara luar biasa." Dan seperti halnya kaum populis yang
siap turun ke masyarakat tanpa kain linen yang bersih, sisir dan sikat gigi,
kaum intelektual siap mengorbankan “kerumitan” bentuk dalam ekspresi seni
mereka, demi memberikan ekspresi yang paling spontan dan langsung untuk
penderitaan dan harapan-harapan kaum tertindas. Pada pihak lain, seni "murni"
merupakan panji-panji kaum borjuis yang sedang tumbuh, yang tidak bisa
mendeklarasikan karakter borjuisnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama
berusaha mempertahankan kaum intelektual dalam kelompoknya.
Cara pandang Marxist telah
dijauhkan dari tendensi-tendensi tersebut, yang memang dulunya dibutuhkan
secara historis, tetapi sesudahnya menjadi sesuatu yang ketinggalan jaman.
Dengan tetap mempertahankan investigasi ilmiahnya, Marxisme secara seimbang
mencari akar sosial dari seni yang murni maupun seni yang berpihak. Marxisme
sama sekali tidak "membebani" seorang penyair dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang pemikiran dan perasaan yang dia ekpresikan, tetapi memberikan
pertanyaan yang jauh lebih signifikan, yaitu, pada perasaan-perasaan yang
seperti apa sebuah karya artistik berhubungan satu sama lain dalam
keanehan-keanehannya? Kondisi-kondisi sosial apa yang melingkupi pemikiran dan
perasaan itu? Tempat apa yang mereka jajah dalam perkembangan historis
masyarakat dan kelas? Dan lebih jauh lagi, warisan sastra apa yang bermain
dalam elaborasi bentuk seni yang lebih baru? Di bawah pengaruh impuls historis
apa kompleksitas perasaan dan pemikiran terpecah dalam kulit yang memisahkan
mereka dari wilayah kesadaran puitik? Investigasi tersebut dapat menjadi
rumit, mendetil atau terindividualisasi, tetapi ide mendasarnya terletak pada
peran tambahan yang dijalankan seni dalam proses sosial.
Setiap kelas memiliki kebijakannya sendiri terhadap seni,
yaitu berupa sebuah sistem yang menampilkan tuntutan-tuntutan atas seni, yang
berubah sesuai dengan waktu; seperti contohnya, perlindungan ala Maecenas
terhadap istana dan grand seigneur, hubungan otomatis
antara permintaan dan penawaran yang dipasokkan oleh metode-metode kompleks
yang mempengaruhi individu-individu, dan seterusnya, dan sebagainya.
Ketergantungan sosial dan bahkan personal dari seni tidaklah ditutup-tutupi,
tapi secara terbuka diumumkan selama seni tersebut mempertahankan sifat
jujurnya. Karakter misterius, luas, dan populer dari borjuis yang bangkit
telah menggiring, secara menyeluruh, pada teori seni murni, meskipun begitu
banyak penyelewengan terjadi dalam teori ini. Seperti yang telah diindikasikan
di atas, sastra bertendens kaum intelektual "populist" diimbuhi dengan sebuah
kepentingan kelas; kaum intelektual tidak mampu memperkuat dirinya sendiri dan
merebut hak untuk memainkan peranan dalam sejarah bagi dirinya tanpa dukungan
dari rakyat. Tapi dalam perjuangan revolusioner, egotisme kelas kaum
intelektual terpadamkan, dan pada sayap kirinya, mereka mengasumsikan bentuk
pengorbanan diri dalam tataran tertinggi. Itulah kenapa kaum intelektual tidak
hanya menutupi seni dengan sebuah tendensi, tapi memproklamirkannya, yaitu
mengorbankan seni, seperti halnya mereka mengorbankan banyak hal lainnya.
Konsepsi Marxist tentang
ketergantungan sosial obyektif serta kegunaan sosial dari seni, saat
diterjemahkan dalam bahasa ilmu politik, bukannya dimaksudkan untuk
mendominasi seni dengan perintah atau pesanan. Tidak benar jika dikatakan
bahwa kita hanya menghargai seni yang baru dan revolusioner, yang menyuarakan
suara para pekerja, dan omong kosong jika kita dikatakan menuntut para penyair
menggambarkan cerobong pabrik, atau pemberontakan melawan kapital! Tentu saja
seni yang baru, tidak bisa tidak, menempatkan perjuangan proletariat pada
perhatiannya yang utama. Tapi penjajakan seni baru tidaklah terbatas pada
beberapa bidang saja. Sebaliknya, ini harus menjajaki semua seluruh lapangan
dalam keseluruhan arah. Syair-syair pribadi dalam lingkupnya yang terkecil
memiliki hak mutlak untuk tetap eksis dalam seni baru. Tetapi, manusia baru
tak akan bisa dibentuk tanpa adanya sebuah puisi liris baru. Tetapi untuk
menciptakannya, sang penyair harus memandang dunia dengan cara yang baru.
Jika Kristus atau Sabaoth saja lunglai dalam rengkuhan para penyair (seperti
dalam kasus Akhmatova, Tsvetaeva, Shkapskaya dan yang lain), ini membuktikan
betapa ketinggalannya lirik mereka dan betapa tidak mencukupinya mereka bagi
manusia baru. Bahkan saat dimana terminologi seperti itu tidak lebih dari
sekedar kata dalam menghadapi zaman, hal tersebut menunjukkan sebuah
kemacetan psikologis, dan oleh karenaya berdiri dalam
kontradiksi dengan kesadaran manusia baru.
Tak seorangpun ingin atau
bermaksud memaksakan tema-tema pada para penyair. Silahkan menulis tentang
segala sesuatu yang anda pikirkan. Tapi biarkanlah kelas baru ini, kelas yang
merasa terpanggil untuk membangun sebuah dunia baru, bersuara kepada anda
dalam beberapa permasalahan-permasalahan tertentu. Kelas ini tidak memaksa
penyair-penyair muda anda menerjemahkan filsafat hidup abad tujuh belas dalam
bahasa yang sempurna. Karya seni, dalam lingkup tertentu dan tingkatan yang
luas, bersifat merdeka, tetapi seniman yang menciptakan karya ini dan juga
pemirsa yang menikmatinya bukanlah mesin-mesin mati; yang pertama menciptakan
karya dan yang kedua mengapresiasi karya tersebut. Mereka adalah makhluk
hidup, meskipun kadang tidak seluruhnya harmonis, dengan kondisi psikologi
terkristalisasi yang mewakili sebuah kesatuan tertentu. Psikologi seperti ini
merupakan akibat dari kondisi-kondisi sosial. Penciptaan dan persepsi seni
adalah satu dari sekian fungsi psikologi tersebut. Dan tak peduli sepandai
apapun kaum formalis mencoba menampilkan dirinya, konsepsi keseluruhan mereka
secara sederhana didasarkan pada fakta bahwa mereka mengabaikan kesatuan
psikologis dari manusia sosial, yang menciptakan dan menikmati apa yang telah
diciptakan itu.
Dalam seni, kelas proletar
harus memiliki ekspresi yang berasal dari cara pandang spiritual baru yang
mulai diformulasikan dalam diri mereka, dan kemana seni harus membantunya
untuk menciptakan bentuk. Ini bukanlah tuntutan negara, tetapi tuntutan
sejarah. Kekuatannya terletak pada obyektifitas dari kebutuhan sejarah. Anda
tak bisa melewatinya begitu saja, atau lari dari kekuatannya. . . .
Victor Shklovsky, yang secara
enteng meloncat dari formalisme verbal ke penilaian subyektif, menunjukkan
sikap yang sangat memusuhi teori materialisme historis seni. Dalam sebuah
booklet yang dia publikasikan di Berlin, dengan judul The March of the
Horse, dia memformulasikan sebuah nilai fundamental, dalam tingkatan
tertentu juga tak terbantahkan, argumen panjang Shklovsky-five (bukannya
empat atau enam, tapi lima) melawan konsepsi materialis seni dalam tiga
halaman kecil. Mari kita bersama-sama mempelajari argumen ini, karena toh
untuk mengetahui guyonan seperti apa yang disebarkannya sebagai perlawanan
terakhir dari pemikiran ilmiah (dengan ragam referensi ilmiah terbesar yang
termuat dalam tiga halaman microscopik yang sama) tak akan membuat kita
cedera.
"Jika lingkungan dan relasi
produksi,' kata Shklovsky, 'telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema
seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu
saja? Padahal tema tak terbatas wilayah.' Well, bagaimana dengan
kupu-kupu? Menurut Darwin, mereka juga terhubung dengan relasi-relasi khusus,
tapi mereka toh terbang dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya
sastra.
Bukanlah pekerjaan yang mudah
untuk memahami kenapa Marxisme selalu dicurigai mengutuk atau memperbudak
tema-tema. Fakta bahwa orang yang berbeda dan orang yang sama dalam kelas yang
berbeda mempergunakan tema yang sama secara sederhana menunjukkan betapa
terbatasnya imaginasi manusia, dan betapa manusia mencoba untuk mempertahankan
energi ekonomi dalam setiap jenis kreasi, bahkan dalam artsitik. Setiap kelas
mencoba untuk memanfaatkan, hingga tingkatan yang tertinggi, warisan material
dan spiritual dari kelas lainnya.
Argumen Shklovsky dapat
ditransfer secara sederhana ke dalam bidang tekhnik produktif. Mulai zaman
kuno, wagon selalu didasarkan pada satu tema yang sama, yang disebut, as roda,
roda, dan lampu. Tetapi, kereta patrisian Roma diadaptasi sesuai selera dan
kebutuhannya, seperti halnya kereta Count Orloy, disesuaikan dengan kelembutan
yang sesuai dengan selera Catherine the Great. Wagon petani Rusia diadaptasi
sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya, pada kekuatan kudanya yang kecil, dan
pada karakter jalan-jalan pedesaan. Otomobil, yang tak bisa dibantah merupakan
produk dari tekhnik baru, menunjukkan tema yang sama, yang disebut empat roda
dan dua as roda. Tapi saat kuda para petani mundur ketakutan terkena sinar
lampu yang menyilaukan dari otomobil di jalanan Rusia pada malam hari, sebuah
konflik dari dua budaya terefleksi dalam sebuah episode.
"Jika lingkungan mengekspresikan
dirinya sendiri dalam novel," makan muncullah argumen yang kedua, " ilmu
pengetahuan Eropa tidak akan bersusah payah memikirkan dari mana cerita Seribu
Satu Malam diciptakan, entah dari Mesir, India, atau Persia." Untuk
menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang seniman, yaitu
kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya
bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki memiliki
karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis.
Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel
ditulis di Mesir, India atau Persia, karena kondisi sosial dari negara-negara
tersebut memiliki banyak kesamaan. Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan
Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari novel
tersebut menunjukkan bahwa novel itu merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun
tak sama persis. Tak seorang pun bisa melompat diluar dirinya. Bahkan omelan
dari seorang yang sakit jiwa berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia
luar sebelum dia sakit. Tapi adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai
refleksi akurat dari dunia di luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang
berpengalaman dan penuh perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang
pasien, yang akan mampu menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau
terdistorsi dalam isi omelannya
Kreasi artistik tentu saja
bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan
transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun
seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang
diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat
sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan
pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria.
"Jika ciri-ciri kelas dan kelas
sendiri terakumulasi dalam seni," Shklovsky melanjutkan, "lalu bagaimana bisa
dongeng-dongeng orang Rusia yang beragam mengenai bangsawannya sama dengan
dongeng tentang pendeta mereka?"
Dalam esensinya, ini hanyalah
bentuk lain dari argumen yang pertama. Kenapa dongeng tentang bangsawan dan
pendeta tidak boleh sama, dan apakah itu bertentangan dengan Marxisme?
Proklamasi yang ditulis secara jelas oleh kaum Marxist seringkali membicarakan
mengenai tuan tanah, kapitalis, pendeta, jendral dan penghisap lainnya. Tuan
tanah tak bisa dibantah berbeda dengan kapitalis, tapi terdapat kasus dimana
mereka dianggap serupa. Kenapa, karenanya, kesenian rakyat dalam kasus-kasus
tertentu tidak boleh memperlakukan bangsawan dan pendeta sebagai wakil dari
kelas yang berdiri di atas rakyat dan yang merampok mereka? Dalam kartun Moor
dan Deni, pendeta bahkan sering berdiri berdampingan dengan tuan tanah, tanpa
merusak analisa Marxisme.
"Jika ciri-ciri etnografis
tercermin dalam seni," lanjut Shklovsky, " folklore tentang orang di luar
batas folknya tak akan bisa terserap dan tak akan bisa dituturkan oleh folk
yang lain."
Seperti yang anda lihat, argumen
tersebut sama sekali tak bisa dijadikan sebagai serangan pada Marxisme.
Marxisme tidak pernah menyatakan bahwa ciri-ciri etnografi mempunyai sifat
independen. Sebaliknya, Marxisme menekankan adanya signifikansi ketergantungan
formasi folklore pada kondisi-kondisi ekonomis dan alamiah. Kesamaan kondisi
dalam perkembangan masyarakat beternak dan bertani, dan kesamaan dalam
karakter hubungan pengaruh-mempengaruhi yang menguntungkan antara satu sama
lain, tidak bisa tidak akan akan menggiring pada penciptaan folklore yang
serupa. Dan dari cara pandang pertanyaan yang menjadi perhatian kita saat ini,
kita dapat mengetahui bahwa pertanyaan ini tidak membedakan apakah tema
homogen ini muncul secara independen diantara komunitas yang berbeda, sebagai
refleksi pengalaman hidup yang homogen dalam ciri mendasarnya dan yang
terefleksi melalui prisma homogen imajinasi para petani, atau apakah benih
dari dongeng ini diseret angin yang ramah dari satu tempat ke tempat yang
lain, mengakar dimanapun juga tanah mau menerimanya. Sangatlah mungkin, dalam
realitanya, bahwa metode-metode tersebut terkombinasikan.
Dan akhirnya, dalam argumen
kelimanya yang terpisah - "Rasio yang telah diajukan (Marxisme) salah”-
Shklovsky merujuk pada tema seputar penculikan yang diangkat dalam
komedi-komedi Yunani sampai dengan drama Ostrovsky. Dengan kata lain,
pengkritik kita ini mengulangi, dalam bentuk khusus, argumennya yang terawal
(seperti yang kita lihat, bahkan dalam menggunakan logika formal, formalis
kita ini tak bagus juga). Benar, tema-tema memang bermigrasi dari rakyat ke
rakyat yang lain, dari kelas ke kelas yang lain, dan bahkan dari penulis ke
penulis yang lain. Ini menunjukkan bahwa imajinasi manusia bersifat ekonomis.
Sebuah kelas tidak betul-betul menciptakan budayanya dari nol, tapi merebut
kepemilikan kelas sebelumnya atas budaya sebelumnya, memecahnya, menyentuhnya,
menggarapnya, dan membangunnya lebih jauh. Jika tak terjadi pemanfaatan tangan
kedua seperti demikian, proses historis tak akan pernah mengalami perkembangan
sama sekali. Tidak hanya tema drama Ostrovsky itu saja yang didapat melalui
Mesir dan melalui Yunani, tetapi kertas dimana Ostrovsky mengembangkan temanya
juga merupakan sebagai sebuah pengembangan dari papyrus Mesir dan perkamen
Yunani. Mari kita mengambil analogi yang lain yang lebih dekat: fakta bahwa
metode kritis dari para Sophis Yunani, yang merupakan kaum formalis di
zamannya, telah berpenetrasi dalam kesadaran teoritis Shklovsky, tidak merubah
sama sekali fakta bahwa Shklovsky sendiri merupakan sebuah produk yang apik
dari sebuah lingkungan sosial tertentu dan zaman tertentu.
Usaha menghancurkan Marxisme
yang dilakukan Shklovsky dalam lima poinnya sangat mengingatkan kita pada
artikel-artikel yang diterbitkan melawan Darwinisme dalam sebuah majalah
The Orthodox Review pada masa lalu yang indah. Jika doktrin bahwa manusia
berasal dari kera adalah benar, tulis Uskup berpendidikan Nikanor dari Odessa
tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, maka kakek kita akan memiliki
tanda-tanda semacam ekor, atau setidaknya akan pernah melihat ciri seperti itu
pada kakek atau nenek mereka. Kedua, seperti semua orang ketahui, monyet hanya
bisa melahirkan monyet. . . . Kelima, Darwinisme salah, karena dia menyangkal
formalisme-maaf, maksud saya, keputusan formal konferensi gereja seluruh
dunia. Keuntungan dari rahib berpendidikan ini terletak pada fakta bahwa dia
merupakan passéist terang-terangan dan mengambil pedomannya dari Rasul Paulus
dan bukan dari Fisika, Kimia atau Matematika, seperti sang futuris Shklovsky
lakukan.
Tak perlu dipertanyakan lagi
kebenaran bahwa kebutuhan akan seni bukanlah diciptakan oleh kondisi-kondisi
ekonomi. Kebutuhan akan pangan juga tak diciptakan oleh ilmu ekonomi.
Sebaliknya, kebutuhan pangan dan kehangatan menciptakan ilmu ekonomi. Adalah
benar bahwa seseorang tak bisa selalu menengok prinsip-prinsip Marxisme dalam
memutuskan apakah akan menolak atau menerima sebuah karya seni. Sebuah karya
seni harus, pertama kali, dinilai berdasarkan hukumnya sendiri, yaitu dengan
hukum-hukum seni. Tapi Marxisme sendiri dapat menjelaskan kenapa dan bagaimana
tendensi tertentu dalam seni bermula dalam periode tertentu sejarah; dengan
kata lain, siapakah yang menciptakan tuntutan terhadap sebuah bentuk artistik
dan bukan yang lain, dan kenapa.
Akan kekanak-kanakan untuk
berfikir bahwa setiap kelas mampu secara menyeluruh dan penuh menciptakan
seninya sendiri dari dalam dirinya sendiri, dan, secara khusus, bahwa kaum
proletariat mampu untuk menciptakan sebuah seni baru melalui gilda-gilda seni
dan lingkaran-lingkaran tertutup, atau dengan Organisasi Budaya Proletar, dan
sebagainya. Berbicara secara umum, karya artistik manusia selalu
berkelanjutan. Setiap kelas yang baru tumbuh melekatkan dirinya pada bahu
kelas sebelumnya. Tapi kontinuitas ini bersifat dialektis, yaitu dia menemukan
dirinya sendiri melalui tabrakan-tabrakan dan perpecahan internal. Kebutuhan
atau tuntutan artistik baru bagi cara pandang artistik dan susastra baru
distimulasikan oleh ekonomi, melalui perkembangan sebuah sebuah kelas baru,
dan desakan kecil yang dipasok oleh perubahan posisi kelas itu, dibawah
pengaruh dari pertumbuhan kekayaan serta kekuasaan budaya kelas tersebut.
Penciptaan artistik merupakan
penggalian segala isi bentuk-bentuk lama yang rumit, di bawah pengaruh desakan
baru yang berasal dari luar seni. Dalam pengertian yang besar, seni adalah
buah tangan. Seni bukannya sebuah elemen terpisah yang mampu merawat dirinya
sendiri, tapi seni adalah sebuah fungsi manusia sosial yang terikat pada hidup
dan lingkungannya. Dan betapa berkarakternya–jika seseorang ingin mereduksi
setiap ketakhayulan sosial ke dalam absurditasnya- seorang Shklovsky ketika
dia sampai pada ide mengenai independensi mutlak seni dari lingkungan sosial
dalam sebuah periode sejarah Rusia dimana seni mengungkapkan spiritualitasnya,
lingkungannya dan ketergantungan materialnya pada kelas-kelas sosial,
sub-kelas and kelompok-kelompok secara gamblang!
Materialisme tidak menyangkal
signifikansi dari elemen-elemen bentuk, baik dalam logika, yurisprudensi atau
seni. Seperti halnya sebuah sistem yurisprudensi dapat dan harus dinilai
dengan logika dan konsistensi internal, maka seni juga dapat dan harus dinilai
dari sudut pandang pencapaiannya dalam bentuk, karena tak akan pernah ada seni
tanpanya. Namun, teori yuridis yang dicoba untuk mengembangkan independensi
hukum dari kondisi sosial akan cacat pada dasar terdalamnya. Kekuatan gerak
hukum terletak pada bidang ekonomi-dalam kontradiksi-kontradiksi sosial. Hukum
hanya memberikan ekspresi yang terharmonisasi secara internal dan ekspresi
formal dari fenomena-fenomena ini, bukan tentang kekhususan-kekhususan
individual, tapi tentang karakter umumnya, yaitu elemen-elemen yang terulang
dan permanen didalamnya. Kita dapat melihat sekarang dengan secercah kejelasan
dalam sejarah bagaimana hukum yang baru terbentuk. Ini tidak dilakukan dengan
deduksi logis, tapi melalui penilaian empirik dan penyesuaian pada
kebutuhan-kebutuhan ekonomis dari kelas penguasa baru.
Sastra, yang metode dan
prosesnya memiliki akar jauh di masa lalu dan mewakili pengalaman akumulatif
dari kepengrajinan verbal, mengekspresikan pemikiran, perasaan, suasana hati,
sudut pandang dan harapan dalam era baru dan kelas barunya. Kita tak bisa
melompati tahap ini. Dan tak ada gunanya untuk melompatinya, setidaknya, bagi
mereka yang tidak mengabdi pada masa lalu atau kelas yang telah hidup lebih
lama dari kekuasaannya.
Metode analisis formal memang
dibutuhkan, tapi tidak mencukupi. Anda bisa menghitung jumalah aliterasi dalam
mazmur-mazmur populer, mengklasifikasikan metafora, menghitung jumlah huruf
vokal dan konsonan dalam sebuah lagu pernikahan. Ini tentu saja memperkaya
pengetahuan kita akan seni rakyat, dalam satu atau beberapa segi lainnya; tapi
jika anda tidak paham akan sistem bercocok tanam para petani, dan kehidupan
yang didasarkan pada sistem ini, jika anda tidak tahu bagian
permainan-permainan celurit, dan jika anda tidak menguasai makna dari kalender
gereja bagi para petani, periode waktu dimana para petani menikah, atau dimana
para petani perempuan melahirkan, anda hanya akan memahami lapisan luar
kesenian folk, tapi bagian terpentingnya tidak akan pernah teraih.
Pola arsitektural dari katedral
Cologne bisa dibentuk dengan cara menghitung dasar dan tinggi dari tapaknya,
dengan menentukan tiga dimensi pada bagian tengahnya, dimensi-dimensi dan
penempatan kolom-kolomnya, dan seterusnya. Tapi tanpa tahu seperti apa kota di
abad pertangahan, apakah gilda itu, dan apakah makna dari gereja Katolik dalam
abad pertengahan, katedral Cologne tak akan pernah bisa dipahami. Usaha untuk
memisahkan seni dengan kehidupan, untuk mendeklarasikan kemandirian kerajinan
dalam dirinya, mendevitalisasi dan membunuh seni. Kebutuhan akan tindakan
seperti itu merupakan sebentuk peringatan yang tak mungkin meleset tentang
adanya kemunduran intelektual.
Analogi antara argumen-argumen
teologis dan Darwinisme yang disebutkan di atas mungkin terkesan tak
berhubungan dan anekdotal bagi pembaca. Mungkin benar, untuk beberapa segi.
Tapi sebuah hubungan yang lebih dalam memang ada. Teori formalis tak pelak
akan membangkitkan kenagan kaum Marxist yang telah membaca semua lagu-lagu
akrab berisikan melodi filosofis yang sangat kuno. Para ahli hukum dan dan
kaum moralis (untuk mengingat kembali secara acak Stammler si orang Jerman,
dan kaum subyektivis kita Mikhailovsky) mencoba untuk membuktikan bahwa
moralitas dan hukum tak bisa ditentukan oleh kondisi ekonomi, karena kehidupan
ekonomi tak mungkin berada diluar norma etis dan yuridis. Nyatanya, kaum
formalis hukum dan moral tak pernah melangkah sampai titik dimana mereka mampu
memperlihatkan independensi total hukum dan etika dari ekonomi. Mereka
mengakui hubungan tertentu yang mutual dan komplek. Mereka mengakui keberadaan
'faktor,’ dan faktor-faktor ini, meski mempengaruhi satu sama lain,
mempertahankan kwalitas substansi-substansi independen, datang tanpa
seorangpun tahu darimana asalnya. Penegasan atas independensi total dari
faktor estetik dari pengaruh kondisi-kondisi sosial, seperti yang dirumuskan
oleh Shklovsky, merupakan sebuah contoh dari hiperbola spesifik yang akarnya
terletak pada kondisi-kondisi sosial juga; ini adalah megalomania estetika
yang menyalakan realita kehidupan yang berat pada kepalanya. Lepas dari ciri
khusus ini, konstruksi kaum formalis menunjukkan metodologi yang salah, sama
dengan apa yang setiap jenis idealisme lain punyai.
Bagi seorang materialis, agama,
hukum, moral dan seni merepresentasikan aspek-aspek terpisah dari satu
kesatuan dan proses pembangunan sosial yang sama. Meski mereka membedakan
dirinya dari dasar industrialnya, bertumbuh semakin komplek, memperkuat dan
mengembangkan sifat-sifat istimewanya dalam detil-detil, politik, agama,
hukum, etika dan estetika tetap mempertahankan fungsi manusia sosial dan
mengikuti hukum-hukum organisasi sosialnya. Kaum idealis, pada lain pihak,
tidak melihat sebuah kesatuan proses perkembangan historis yang mengembangkan
organ-organ dan fungsi yang perlu dari dalam dirinya sendiri, tapi lebih
sebagai sebuah penginteraksian, pengkombinasian, dan persinggungan
prinsip-prinsip independen tertentu- substansi-substansi agamis, politis,
yuridis, estetik dan etis, yang mempunyai sebab dan penjelasan dalam diri
mereka sendiri.
Idealisme (dialektis) Hegel
merancang substansi-substansi semacam ini (yang merupakan kategori-kategori
abadi) dalam beberapa urutan dengan cara mereduksi mereka menjadi sebuah
kesatuan genetik. Lepas dari fakta bahwa kesatuan ini bagi Hegel adalah roh
absolut, yang membagi dirinya sendiri dalam sebuah proses manifestasi
dialektisnya menjadi beragam "faktor," sistem Hegel, karena sifat
dialektisnya, bukan karena idealismenya, memberikan sebentuk gambaran realita
historis seperti dalam ilustrasi sebuah tangan manusia yang dilepaskan dari
sarung tangannya.
Tapi kaum formalis (dan wakil
terjeniusnya, Immanuel Kant) dalam hari dan jam penyingkapan filosofisnya,
tidak mencermati seluruh dinamika perkembangan, melainkan hanya pada satu
bagian persinggungannya saja. Mereka mengungkapkan kompleksitas dan
keberagaman obyek yang terdapat dalam dalam garis pertemuan itu (bukannya
proses, karena mereka tidak memikirkan tentang proses-proses). Kompleksitas
ini mereka analisa dan kelompokkan. Mereka memberi nama pada elemen-elemen,
yang serta merta ditransformasikan dalam esensi-esensi, dalam sub-absolut,
tanpa ayah dan ibu; dalam gurauan, agama, politik, moral, hukum, seni. Di sini
kita tak lagi mendapati sarung tangan sejarah yang terobek saja, tapi juga
kulit jari yang terkoyak, dijemur dalam suhu abstraksi
penuh, dan tangan sejarah ini menjadi produk dari “interaksi” ibu jari, jari
telunjuk , jari tengah, dan semua "faktor-faktor" lainnya. Jari kelingking
merupakan "faktor" estetik, bagian yang terkecil, tapi bukannya yang terakhir
dicintai.
Dalam biologi, vitalisme adalah
variasi-variasi pemujaan mutlak yang sejenis dalam menunjukkan aspek-aspek
berbeda dari proses dunia, tanpa pemahaman atas relasi internal. Seorang
pencipta adalah semua yang tak memiliki estetika atau moralitas absolut dan
supersosial, atau “kekuatan vital” absolut superfisikal. Keberagaman
faktor-faktor independen, "faktor-faktor" yang tak berawal dan berakhir, tidak
lain adalah sebuah politeisme bertopeng. Seperti halnya idealisme Kantian
secara historis mewakili sebuah terjemahan Kekristenan dalam bahasa filsafat
rasionalistik, semua jenis formalisasi idealistik, baik yang terbuka maupun
rahasia, menggiring kita pada figur tuhan, sebab dari segala sebab. Dalam
perbandingan dengan oligarki sekumpulan sub-absolut filsafat idealis, seorang
individu pencipta tunggal hanyalah satu elemen dalam deretan yang ada. Di
sinilah terletak hubungan yang lebih dalam antara penolakan kaum formalis
terhadap Marxisme dan penolakan teologis terhadap Darwinisme.
Mazhab formalis adalah idealisme
gagal yang diterapkan pada pertanyaan seni. Kaum formalis menunjukkan sebuah
relijiusitas yang matang. Mereka adalah pengikut Santo Yohanes. Mereka percaya
bahwa "pada mulanya adalah Firman." Namun kita percaya bahwa pada mulanya
adalah perbuatan. Sang kata mengikuti, sebagai bayang-bayang fonetiknya***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar