Ardhi Morsse Putra Sriwijaya

Putra Melayu Sriwijaya Berjuang Untuk Nusantara...!!!

Rabu, 07 Maret 2012

NABI MUHAMMAD SAW MENGAJARKAN SOSIALISME JAUH SEBELUM KARL MARX

NABI MUHAMMAD SAW MENGAJARKAN SOSIALISME JAUH SEBELUM KARL MARX

Menurut "Buku putih" (G.30-S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan oleh Sekneg pada tahun 1994, bahwa pertentangan di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya Kongres, tapi usaha mereka ini ditentang oleh seorang tokoh SI, H.Agus Salim. H. Agus Salim menjawab semua argumen Semaun dan Tan Malaka dengan mengatakan bahwa, "Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx" (hal: 11).

Sangat sayang, H. Agus Salim tidak menjelaskan isi ajaran Sosialisme yang diberikan Nabi Muhammad tersebut  dan juga tidak menjelaskan mengapa setelah 14 abad lamanya, ajaran sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad itu belum membumi. Ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad tsb tentu bersumber dari dari Al Quran. Marilah kita kaji ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran dan tanggapan sementara tokoh-tokoh agama Islam terhadap sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad.

Konsep Keadilan Kolektif

Islam pada dasarnya merupakan agama pembebasan, ujar Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas". Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir.

Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Mekkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", akan tetapi lebih bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta. Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan.

Dalam perspektif teologi kaum tertindas, ujar Mansour Fakih, peran seorang Rasul seperti Muhammad, Isa dan yang lain adalah sebagai seorang pembebas kaum tertindas. Musa, misalnya, sebagaimana Muhammad juga, tugas utamanya adalah membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan Firaun. Watak dari teologi pembebasan untuk kaum tertindas ini, selanjutnya juga telah dikembangkan oleh kelompok Khawarij. Merekalah yang pertama-tama dalam sejarah Islam mengembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama.

Kebangkitan gerakan Khawarij juga dilatar belakangi oleh fenomena kontradiksi ekonomi yang muncul dalam bentuk persoalan kepemimpinan dan masyarakat. Kontradiksi ini melahirkan kelompok Khawarij, suatu aliran yang menekankan pada konsep keadilan kolektif. Konsep keadilan kolektif inilah yang jadi asal muasal pandangan sosialistis dalam Islam (hal: 172-173, dalam buku "Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam", 1989) Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb tentu adalah sosialisme yang hendak membebaskan kaum tertindas dan menjadikan kaum tertindas tsb sebagai pemimpin di bumi dan itu adalah tingkat rendah dari masyarakat Tauhidi (ummat yang satu, tanpa kelas-kelas).

Sosialisme Dalam Al Quran

Ajaran-ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad SAW tentu berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran. AL Quran cukup jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, hendak menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadhafin) menjadikan pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, guna menuju ummat yang satu (tauhidi). Marilah kita cermati ayat-ayat tsb.

A. Terkutuklah Orang-Orang Yang Menumpuk-Numpuk Harta

Bahwa Islam menentang sistem kapitalisme cukup gamblang diwakili oleh Surat al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).Menjadi pertanyaan: dari mana mereka peroleh harta yang mereka tumpuk-tumpuk tsb? Tentu tidak hanya dari hasil keringatnya sendiri, melainkan juga dari hasil keringat orang lain, dengan melalui berbagai cara yang tidak halal. Padahal surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: "Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya".

Juga cukup jelas surat Al An'am ayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir. Haram memakan darah yang mengalir itu bukan hanya secara harfiah, misalnya melukai sebagian kulit seseorang kemudian dihirup darahnya yang mengalir di tempat yang dilukai tsb, tetapi yang lebih mendalam ialah menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Seperti yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum buruhnya. Kaum buruhnya tidak akan bisa diperas atau dihisapnya, sekiranya darahnya tidak-mengalir lagi dalam tubuhnya. Jadi, menghisap tenaga kerja kaum buruh, adalah sama dengan memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh tsb.

Menurut HOS Tjokroaminoto melalui bukunya "Islam dan Sosialisme" yang ditulisnya pada bulan November 1924 di Maitarat, bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" (nilai lebih -pen) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx dan "memakan riba", sepanjang fahamnya Islam (hal: 17).

B. Yang Tertindas Hendak Dijadikan Pemimpin

Bahwa agama Islam itu adalah agama pembebasan bagi kaum tertindas dan miskin,jelas sekali dikemukakan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi."Dari ayat ini jelas sekali bahwa Tuhan secara terbuka memihak kepada kaum mustadhafin dalam perjuangannya melawan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tuhan tidak bersikap netral dalam pertentangan antara kaum tertindas melawan kaum penindas. Bila kaum mustadhafin sudah menjadi pemimpin di bumi, maka tentu telah tertutup jalan bagi kaum mustakbirin melakukan penindasan lagi terhadap kaum Mustadhafin dan itulah Sosialisme Islam. Menurut Asghar Ali Engineer melalui bukunya "Islam dan Pembebasan" bahwa pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatakan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya dan miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat "tanpa kelas". Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al Quran menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islam lah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner transformatif dan membebaskan itu (hal: l4). Penilaian Asghar Ali Engineer yang terakhir ini sejalan dengan penilaian Ulil Abshar Abdallah melalui bukunya "Membakar Rumah Tuhan". Menurut Ulil Abshar Abdallah bahwa persis hal ini dengan apa yang terjadi pada agama Islam: semula menjadi agama emansipatoris yang membawa aspirasi pembebasan dan perubahan, sekarang menjadi agama yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo) (1999, hal: 44).

C. Masyarakat Tauhidi, Tanpa Kelas-Kelas

Cukup jelas Tuhan melalui surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: "Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku. "Menurut Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas", bahwa doktrin tauhid adalah tema pokok setiap teologi dalam Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif "teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas (hal: 173). Dalam masyarakat Tauhidi ini, ummat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dsb. Dan itu adalah sama dengan masyarakat komunis. Masyarakat Tauhidi ini, adalah tingkat yang lebih tinggi dari masyarakat yang dijanjikan Tuhan: "Akan menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi." Untuk bisa membuminya isi surat Al Qashash ayat 5-6 sebagai langkah awal menuju masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), maka kaum mustadhafinharus mengamalkan Surat Al Ra'du ayat 11, yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka. "Menurut petunjuk Al Quran tsb, bila kaum Mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak mengubah keadaan diri mereka, tidak berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin. Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin. Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx, "usaha kaum" dalam bahasa Ar Ra'du ayat 11.Malahan supaya kaum mustadhafin ini bisa bebas dari penindasan, Tuhan memperingatkan ummat Islam melalui surat An Nisa ayat 75: "Mengapa kamu tiada mau berperang di jalan Allah dan (membela) orany-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan kanak-kanak yang semuanya berdoa: "Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisiMu". Dengan demikian jelas bahwa berjuang (berperang) diizinkan Al Quran untuk mengakhiri kezaliman dan untuk melindungi orang-orang yang lemah dari penindasan orang-orang kuat. Al Quran tidak mengizinkan berperang untuk memaksa seseorang memeluk agama Islam. Hal itu dengan tegas telah dikatakan Tuhan: "La ikraha fi al Din" (tidak ada paksaan dalam agama). Malah surat Al Kafirun dengan tegas mengatakan: "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".

Titik Pertemuan Islam Dan Komunisme

AK Pringgodigdo SH dalam bukunya "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia" mengemukakan bahwa H. Misbach, seorang komunis keagamaan 76 tahun yang lalu, di depan Kongres PKI di Bandung pada tanggal 4 Maret 1925 menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran, hal-hal yang bercocokan antara komunisme dan Islam (antaranya, kedua memandang sebagai kewajiban, menghormati hak-hak manusia dan bahwa keduanya berjuang terhadap penindasan) dan diterangkannya juga, bahwa seseorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia seorang Islam sejati; dosanya itu adalah lebih besar lagi, kalau orang memakai agama Islam sebagai selimut untuk mengkayakan diri sendiri. Komunisme menghendaki lenyapnya kelas-kelas manusia (hal: 28). Seorang Bung Karno melalui tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" mengatakan: "Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula"; "Islamis yang "fanatik" dan memerangi marxisme, adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri"; "Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan" (DBR, hal: 12-15-14).

Kesimpulan

H. Agus Salim benar bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan Sosialisme seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx. Karena Manifes Komunis yang terbit pada tahun 1848 adalah hasil studi Karl Mark tentang perkembangan sistem masyarakat sebelumnya. Tentu juga termasuk, baik secara langsung atau tidak, Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb. Karena tujuan yang hendak dicapai Islam dengan komunis sama-sama masyarakat tanpa kelas (Tauhidi-komunis) dan hal itu akan terwujud melalui tingkatan masyarakat sosialis (mustadhafin menjadi pemimpin di bumi). Masyarakat sosialis baru terwujud atas "usaha kaum" atau perjuangan kelas, maka sudah pada tempatnya kerjasama komunis untuk merebutnya. Hanya saja kaum kapitalis (mustakbirin) berkepentingan mencegah terjadinya kerjasama Islam dan komunis, agar kaum kapitalis tetap dapat berkuasa. Karena Sosialisme adalah ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri, maka semestinya setiap yang mengaku Muhammad itu adalah Rasullullah, ia akan memperjuangkan untuk adanya sosialisme itu. Itu sebagai langkah awal untuk membuminya masyarakat Tauhidi di Indonesia. Karena itu terasa aneh, karena dewasa ini di Indonesia, tidak ada satu partai yang memakai bendera Islam yang mengibarkan panji-panji Sosialisme. Malah ada yang menentang Sosialisme.

Hal itu sudah disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa ada orang Islam yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo). Sesungguhnya orang yang mengaku Islam, tetapi tidak berjuang untuk membumikan masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), tentu dipertanyakan keIslamannya: apakah mereka benar-benar pengikut Nabi Muhammad Saw, atau tidak? Jika ya, tentu mereka akan mendukung tegaknya masyarakat Tauhidi tsb. Bila tidak, soalnya menjadi lain.

Sabtu, 03 Maret 2012

Jika Orator Menjadi Guru

Bung Karno lepas dari jenjang perguruan tinggi tahun 1926. Saat itu, ia berhak menyandang titel insinyur. Biro arsitek pertama yang ia dirikan bersama Ir. Anwari, terbilang tidak langgeng. Kurang lebih sama nasibnya dengan biro arsitek kedua di kemudian hari, yang ia dirikan bersama Ir. Rooseno.

Sekalipun begitu, demi menafkahi keluarga, ia mengerjakan beberapa pekerjaan untuk kabupaten-kabupaten serta bangunan rumah-rumah pejabat pemerintah. Bukan hanya itu, Sukarno bahkan ditawari jabatan menarik di Departemen Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda.

Saat datang tawaran itulah ia tersentak sadar, bahwa ia tak bisa terus menekuni pekerjaan tadi, karena pada dasarnya ia hidup untuk sebuah prinsip non-koperasi. Persis seperti alasan yang ia ungkapkan kepada profesornya di THS, sesaat setelah lulus, yang menyarankannya agar bekerja membantu pemerintah Hindia Belanda.

Saat itu Sukarno muda menukas, “Profesor, saya menolak bekerja sama, supaya saya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja pada pemerintah, secara diam-diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanya.”

Faktanya, Sukarno sendiri akhirnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kiriman orang tuanya praktis sudah dihentikan, segera setelah ia lulus kuliah. Tiba pada suatu saat, ia mendengar adanya lowongan mengajar di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi alias Douwes Deker di kota Bandung. Mereka mencari guru untuk dua mata pelajaran, Sejarah dan Ilmu Pasti.

“Huh…,” gerutu Bung Karno. “Dua mata pelajaran yang paling tidak aku kuasai,” gumamnya dalam hati. Akan tetapi, manakala perwakilan sekolah bertanya, “Insinyur Sukarno, tuan adalah insinyur berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti. Bukankah begitu?” Spontan Bung Karno menjawab “pe-de”, “Ohh… ya tuan! Ya… betul, aku menguasainya.”

Termasuk saat ditanya, “Baiklah. Tuan dapat mengajar ilmu pasti?”, Bung Karno menyambar, “Mengapa tidak! Saya menguasai betul ilmu pasti. Ini mata pelajaran yan saya senangi,” katanya benar-benar mantap dalam berbohong. Apa hendak dikata, saat itu ia dan Inggit benar-benar dalam keadaan kering kerontang. Apa yang dapat mereka suguhkan jika tamu datang hanyalah secangkir teh tanpa gula. Dalam keadaan begitu, haruskah ia mengaku bahwa sesungguhnya ia tidak dapat mengajar ilmu pasti dan sejarah?

Ringkas kalimat, Bung Karno diterima mengajar. Mata pelajaran sejarah, yang semula ia bayangkan mudah, ternyata begitu susah. Kelas yang dihadapi Bung Karno berisi 30 murid, satu di antaranya adalah Anwar Cokroaminoto, putra H.O.S. Cokroaminoto, gurunya di Surabaya dulu.

Tanpa satu orang guru pun yang memberi tahu ihwal metode mengajar, Bung Karno memainkan perannya sebagai guru dengan penuh improvisasi. Mulailah ia mengajar sejarah dengan gayanya sendiri. Gaya seorang pembicara. Gaya orator!

Sebagai guru sejarah, Sukarno tak hirau soal tanggal dan tahun. Sebagai guru sejarah, Sukarno tidak mau memusingkan kepala murid-muridnya dengan persoalan tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo. Pendek kata, cara mengajar sejarah Bung Karno benar-benar beda dari yang ada.

Ia, laksana sang aktor berakting di panggung tonil. Ia lantangkan hakikat kebenaran. Ia gemakan mengapa terjadi ini, dan mengapa pula terjadi itu. Manakala ia berkisah sejarah Sun Yat Sen, “Pak Guru” Sukarno benar-benar berteriak menggelegar, sesekali tangannya diayun dan digebrakkannya di atas meja. Murid mana tidak terbelalak mendapatkan seorang guru seperti itu?
Sementara, sudah menjadi aturan Departemen Pengajaran Hindia Belanda, untuk mengirim para penilik sekolah pada waktu-waktu tertentu. Hingga tiba saatnya, sekolah Yayasan Ksatrian dikunjungi penilik sekolah. Dalam satu kesempatan, sang penilik itu masuk ke kelas Sukarno. Ia duduk di bangku paling belakang, mengamati, mencermati, dan mengevaluasi cara Sukarno mengajar.

Kebetulan, hari itu Sukarno membawakan materi “Imperialisme”. Sebuah pokok soal yang begitu dikuasainya. Dan begitulah tabiat Sukarno jika sudah berbicara, ia akan berbicara tanpa hirau dampak dan akibat. Ia terus dan terus mencerca sistem imperialisme dengan sangat bersemangat, sambil melompat, sesekali menggebrak, dan tak jarang berteriak.

Atas “cara mengajar” yang unik itu, sang penilik sekolah berkebangsaan Belanda itu terperangah. Ia menjadi lebih tak bisa berkata-kata demi mendengar materi yang diajarkannya. Bisakah Anda bayangkan, seorang guru pribumi, di hadapan pemilik sekolah berkebangsaan Belanda, berteriak-teriak tentang imperialisme, dan ditutup dengan kalimat, “Negeri Belanda adalah Kolonialis yang terkutuk!”

Geram menahan amarah, sang penilik harus menguasai diri hingga Sukarno selesai memberi pelajaran. Syahdan, ketika selesai mengajar, sang penilik sekolah pun mengayun langkah, dengan wajah merah, menghampiri “pak guru” dan berkata marah, “Raden Sukarno, tuan bukan guru… tuan seorang pembicara!”

Dan, begitulah akhir daripada karier Bung Karno yang singkat sebagai guru…

Independensi HMI

Assalamu'alaikum Wr.Wb 
A. PENDAHULUAN
Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda. 
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 7 AD HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psichologis keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI. 
B. STATUS DAN FUNGSI HMI 

Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final gool). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral"atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi "sosial control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
 

Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agen of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. 

Oleh sebab itu,  fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (Hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya. 
C. SIFAT INDEPENDEN HMI 
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "habluminallah" maupun dalam "habluminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.

Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang : 

  1. Cenderung kepada kebenaran (hanif)
  2. Bebas terbuka dan merdeka
  3. Obyektif rasional dan kritis
  4. Progresif dan dinamis
  5. Demokratis, jujur, dan adil

Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 
Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan objektifitas. 
Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "commited" dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun, melainkan tunduk dan terikat kepada kepentingan kebenaran, objektivitas, kejujuran, dan keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut : 
Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu, tidak diperkenankan anggota HMI melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar mana pun juga. Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris. 
Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. 
Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara. 
D. PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG 
Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia. 
Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.
Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang. 
Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang. 






Wabilahittaufiq wal hidayah,
Wassalamualaikum war. wab.,

Sejarah Munculnya Bhineka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. 
Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir). 

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila. 

Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit. 

Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya. 

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. 

Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara. 

Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. 

Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.

Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal.

Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majhapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majhapahit; 
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur

Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda. 

Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.

Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur. 
Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan. 

Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan).

Gejala pendewaan terhadap raja atau kepada seseorang yang telah meninggal merupakan akibat pembauran antara pemujaan arwah leluhur dan Hindu-Budha masa Singhasari- Majhapahit. Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca mencatat pujaan tertinggi Bhre Hyang Wkas ing Sukha (Hayam Wuruk) adalah Sanghiyang Acalapati (Raja Gunung = Roh yang bersemayam di Gunung) 

Kedudukan arca dewa sebagai raja pada hakekatnya sama dengan kedudukan menhir dalam budaya megalitik masa prasejarah. Konsep menhir didirikan sebagai tanda jasa kepala suku yang menyelenggarakan pesta jasa, feast of merit, untuk dinikmati masyarakatnya. Setelah kepala suku tersebut meninggal, menhir, yang semula sebagai simbol jasa ketika masih hidup kemudian berubah menjadi simbol (lambang) kepala suku. Roh kepala suku dianggap sebagai pelindung desa dan pembimbing masyarakat diundang turun masuk menhir melalui upacara tertentu, maka masyarakat langsung berhubungan dengan Roh Leluhurnya. 

Faktor pendorong utama kebangkitan kepercayaan asli masa Majhapahit adalah situasi sosial politik yang kian goncang akibat inovasi Islam. Saat yang sama penganut kepercayaan pribumi tetap menjalankan eksistensinya bahkan kian merasuk teguh menjiwai konsep Hindu-Budha. 

Maka serentak hadir gerakan millenarisme, gerakan menyelamatkan dan kebangkitan, yakni mengembalikan kepercayaan Asli pribumi dimana gunung merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau nenek moyang yang didewakan. Yang pada hakekatnya adalah Hiyang, Sang Rumuhun, Leluhur. 

Gejala millenarisme tersebut dihubungkan dengan dipahatkannya relief-relief cerita ruwatan atau kaleupasan seperti yang ter-cermin pada bangunan-banguan suci yang mengacu kepada karyasastra keagamaan bertemakan konsep dewa-dewa asli, Pribumi. Diantaranya cerita Suddhamala Bhimaruci, Bubuksah Gagang Aking, Tantu Pangglaran.

Gunung Pananggungan, Gunung Arjuna,dan Gunung Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi kehadiran gejala millenarisme “kebangkitan” unsur kepercayaan asli dengan corak dan gaya seni ciri Majhapahit akhir yang sangat jauh berbeda dengan Hindu-Budha. Ciri kesenian asli lebih nampak alami, pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk, perut dan pantat besar. Penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional sebenarnya adalah elemen-elemen naturalis yang asli Pribumi. 

Gejala kesengajaan dilatari konsep kepercayaan asli, mengutamakan simbolis daripada ketepatan susunan anatomisnya, sebab lebih dilatari dan ditujukan langsung kepada nilai spiritual dan magis dari pada nilai keindahannya. Senarai pemikiran personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia sehingga diupayakan berkesan statis sesuai kondisi seseorang yang telah meninggal, yang bersemayam di puncak gunung. 

Gejala mesianik memuja yang dianggap akan atau mampu menyelamatkan dunia adalah untuk memperoleh kalepasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting. Gejala mesianik yang disebut milenarisme adalah sejajar dengan ajaran para Resi yang sejak awal telah ada dan merupakan kelompok spiritual dengan memilih kehidupan di dalam lingkungan yang sunyi-terpencil. Semacam padepokan dengan menampilkan tokoh Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan. 

Bima di sini dihubungkan dengan “Pahlawan Keagamaan” berkenaan dengan unsur bersatunya kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha Suksma. Selaras peristiwa yang dialami Bhima tatkala keluar dari dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya. Keagamaan Majhapahit lebih mempertegas hubungan konvensional dan kepercayaan lingkungan alam, yang sesungguhnya adalah representasi mental yang pernah berlaku sejak awal dengan fokus utama keyakinan kepada nenek moyang yang disebut leluhur, rumuhun atau Sang Hyang.

Sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober



Hari ini tanggal 28 Oktober 2011, bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda yang lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 silam. Sumpah Pemuda merupakan bukti adanya persatuan dan kesatuan yang sangat di junjung tinggi oleh semua rakyat Indonesia. Bagaimana sejarah Sumpah Pemuda itu sendiri. Berikut ini saya ulas lagi tentang sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang bisa menambah wawasan sobat sekalian.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda.

Rapat Pertama, Gedung Katholieke Jongenlingen Bond

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat Kedua, Gedung Oost-Java Bioscoop

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Rapat Ketiga, Gedung Indonesisch Huis Kramat

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi :


PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE,
TANAH INDONESIA.
KEDOEA
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,
BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN,
BAHASA INDONESIA



Itulah sejarah singkat tentang Sumpah Pemuda, semoga dengan semangat sumpah pemuda kita bisa membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. 

Sejarah Bendera Sang Saka Merah Putih

Dalam sejarah Indonesia terbukti, bahwa Bendera Merah Putih dikibarkan pada tahun 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika berperang melawan kekuasaan Kertanegara dari Singosari (1222-1292). Sejarah itu disebut dalam tulisan bahwa
Jawa kuno yang memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan tentang perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.
Spoiler for Merah Putih:

- Prapanca di dalam buku karangannya Negara Kertagama mencerirakan tentang digunakannya warna Merah Putih dalam upacara hari kebesaran raja pada waktu pemerintahan Hayam Wuruk yang bertahta di kerajaan Majapahit tahun 1350-1389 M. Menurut Prapanca, gambar-gambar yang dilukiskan pada kereta-kereta raja-raja yang menghadiri hari kebesaran itu bermacam-macam antara lain kereta raja puteri Lasem dihiasi dengan gambar buah meja yang berwarna merah. Atas dasar uraian itu, bahwa dalam kerajaan Majapahit warna merah dan putih merupakan warna yang dimuliakan.

- Dalam suatu kitab tembo alam Minangkabau yang disalin pada tahun 1840 dari kitab yang lebih tua terdapat ambar bendera alam Minangkabau, berwarna Merah Putih Hitam. Bendera ini merupakan pusaka peninggalan jaman kerajaan
Melayu-Minangkabau dalam abad ke 14, ketika Maharaja Adityawarman memerintah (1340-1347). Warna Merah = warna hulubalang (yang menjalankan perintah) Warna Putih = warna agama (alim ulama) Warna Hitam = warna
adat Minangkabau (penghulu adat) - Warna merah putih dikenal pula dengan sebutan warna Gula Kelapa. Warna Merah Putih disebut Gula Kepala tidak
berarti “Merah” lambing gula dan “Putih” lambing buah nyiur yang telah dikupas. Di Kraton Solo terdapat pusaka berbentuk bemdera Merah Putih peninggalan Kyai Ageng Tarub, putra Raden Wijaya, yang menurunkan raja-raja Jawa.

- Dalam babat tanah Jawa yang bernama babab Mentawis (Jilid II hal 123) disebutkan bahwa Ketika Sultan Ageng berperang melawan negri Pati. Tentaranya bernaung di bawah bendera Merah Putih “Gula Kelapa”. Sultan
Ageng memerintah tahun 1613-1645.

- Juga di bagian lain dari kepulauan Indonesia terdapat bendera yang berwarna Merah Putih, misalnya di Aceh, Palembang, Maluku dan sebagainya meskipun sering dicampuri gambar-gambar lain.

- Pada umumnya warna Merah Putih merupakan lambing keberanian, kewiraan sedangkan warna Putih merupakan
lambing kesucian.

- MERAH PUTIH DALAM ABAD XX

- a. Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kali dalam abad XX sebagai lambang kemerdekaan ialah di benua Eropa.
-Pada tahun 1922 Perhimpunan Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di negeri Belanda dengan kepala
banteng ditengah-tengahnya.
- Tujuan perhimpunan Indonesia Merdeka semboyan itu juga digunakan untuk nama majalah yang diterbitkan.

- Pada tahun 1924 Perhimpunan Indonesia mengeluarkan buku peringatan 1908-1923 untuk memperingati hidup perkumpulan itu selama 15 tahun di Eropa. Kulit buku peringatan itu bergambar bendera Merah Putih kepala banteng.

- Dalam tahun 1927 lahirlah di kota Bandung Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mempunyai tujuan Indonesia Merdeka. PNI mengibarkan bendera Merah Putih kepala banteng. 

- Pada tanggal 28 Oktober 1928 berkibarlah untuk pertama kalinya bendera ,erah Putih sebagai bandera kebangsaan yaitu dalam Konggers Indonesia Muda di Jakarta. Sejak itu berkibarlah bendera kebangsaan Merah Putih di seluruh
kepulauan Indonesia.

- SANG SAKA MERAH PUTIH DI BUMI INDONESIA MERDEKA

- Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta bertempat di Pegangsaan Timur 56 (JL.Proklamasi) Jakarta, atas nama bangsa Indonesia. Sesaat kemudian bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bendera Merah Putih berkibar ntuk pertama kalinya di bumi Indonesia Merdeka.

- a. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945 mengadakan siding yang pertama dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). b. Dalam UUD 1945, Bab I, pasal I, ditetapkan bahwa Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam UUD 1945 pasal 35 ditetapkan pula http://www.pramukanet.org - pramukanet.org Powered by Mambo Generated:12 July, 2009, 14:49 bahwa bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Denagn demikian itu, sejak ditetapkannya UUD 1945 , Sang Merah Putih merupakan bendera kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

- Dengan ditetapkannya UUD 1945 dan bendera kebangsaan Sang Merah Putih, maka serntak seluruh rakyat Indonesia dan pemuda Indonesia, menegakkan, mengibarkan dan mempertahankan Sang Merah Putih di bumi Indonesia. Pertempuran-pertempuran dengan serdadu colonial Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berkobar di seluruh Indonesia. Ribuan rakyat dan pemuda Indonesia gugur sebagai pahlawan bangsa mempertahankan kemerdekaan Sang Merah Putih. Karena pengorbanan mereka kini Sang Merah Putih tegak berkibar dibumi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berlandaskan Pancasila.

- a. Sang Merah Putih dikibarkan pada Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus 45 di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakartadisebut Bendera Pusaka. Bendera Pusaka itu selalu dikibarkan di tiang yang tingginya 17 m di depan Istana Merdeka Jakarta pada tiap perayaan peringatan Hari Prokalamasi Kemerdekaan.

- Mulai tahun 1969 Bndera Pusaka itu tidak lagi dapat dikibarkan karena sudah tua. Sebagai gantinya dikibarkan duplikatnya yang dibuat dari sutera alam Indonesia.

- Dalam sejarah perjuangan kemrdekaan Indonesia, Bendera Pusaka tidak pernah jatuh ke tangan musuh, meskipun tentara colonial Belanda menduduki Ibukota Negara Republik Indonesia.


REFRENSI : http://www.forumkami.net/sejarah/46151-sejarah-bendera-sang-saka-merah-putih.html#ixzz1o3Zhiq1F