Ardhi Morsse Putra Sriwijaya

Putra Melayu Sriwijaya Berjuang Untuk Nusantara...!!!

Rabu, 25 Januari 2012

Sejarah ‘Tuhan’ dalam Kehidupan “Spiritualku” “Tuhan Lagi-lagi dengan Sengaja atau Tidak Aku ‘Belenggu’ dalam Pemahamanku Atas Diri-Nya"

Sejarah ‘TUHAN’ dalam kehidupan “Spiritualku”
“Tuhan lagi-lagi dengan sengaja atau tidak aku ‘belenggu’ dalam pemahamanku atas diriNya.”
Semacam Pendahuluan
Tuhan bagiku sangatlah misterius, melebihi kemisteriusan rahasia kehidupan dan alam ini. Dalam sejarah kehidupan manusia tentunya termasuk aku, Tuhan adalah salah satu dari sekian ‘materi/persoalan’ penting dalam ranah pengetahuan manusia, bahkan secara khusus Tuhan diajarkan dalam setiap agama yang ada, begitu juga dalam sejarah “spiritualitasku”, Tuhan hadir dalam keseharianku bahkan sebelum aku hadir dan lahir dalam kehidupan.
Sebagaimana tradisi dalam ke-Islaman yang kami anut dalam keluarga, kami termasuk penganut Islam yang taat, bapakku seorang imam masjid dan keturunan penganjur Islam dalam lingkungan tempatku tinggal, maka tidak heran semenjak dalam kandungan, setiap malam tak lupa surat Maryam dan Yusuf dialunkan disamping perut ibuku oleh bapakku, begitupun ketika aku lahir, Tuhan hadir dalam adzan dan iqomat yang dikumandangkan ditelingaku kiri dan kanan, setidaknya itulah cerita leluhur dan juga yang aku lakukan kepada anakku kemudian, Tuhan begitu dekat dan hadir dalam setiap fase kehidupanku.
Namun spiritualitas tentulah berada dalam ruang dan waktu dan itu artinya menyejarah, begitu juga ‘konsep’ tentang Tuhan itu sendiri, dan dalam sejarah ‘spiritualku’ akhirnya Tuhan ikut menyejarah dan mengalami beberapa fase/tingkatan pemahaman sebagaimana yang aku alami berikut ini:

TUHAN yang aku kenal waktu kecil
Sejak kecil Tuhan ada dan hadir dalam sejarah kehidupanku, aku sejak kecil selain sekolah umum diwajibkan sekolah sore alias madrasah, dari sana selain pendidikan keluarga ‘konsep’ Tuhan ada dan masuk dalam paradigma pengetahuanku, Tuhan yang aku kenal dan fahami maha meliputi dan segalanya tempat muara setiap hal, tanpa ada pertanyaan dan logika untuk ‘mengenal’Nya, apapun tentangNya datang secara doktriner dan arbitrer, begitu saja dan sungguh aku dengan segenap kondisi yang ada saat itu, tanpa banyak tanya mau dan mampu memahaminya dengan serta merta.
Tuhanlah yang menjadikan semua ada dan mungkin, Tuhanlah yang memberikan segala sesuatu yang kami miliki dalam keluarga, rezeki, kesehatan dan setiap kebaikan yang ada pasti dari Tuhan dan anehnya yang buruk selalu dari Setan, itulah Tuhan yang aku fahami dan yakini waktu kecil. Pemahaman itu datang begitu saja secara otomatis, dogmatis.
Bapakku sebagai guru ngaji dan santri kuno sangatlah ketat dalam mendidikku soal agama dan keyakinan pada Tuhan, segenap perintah Tuhan ‘terjelma’ dalam perintah ‘bapakku’, bisa diartikan aku mengenal Tuhan lewat bapakku dan tentunya pendidikan di madrasahku, jadi ‘kepatuhanku’ secara otomatis hadir atas ‘kepatuhan’ku pada bapak dan guru agamaku, seakan Tuhan menjelma dalam diri mereka, jadi aku takut dan menjalankan perintah Tuhan lebih dikarenakan takut kepada bapak dan guru agamaku.
Tuhan sebagaimana yang aku fahami dan yakini dalam fase ini sangatlah lengkap, yang maha segala dan meliputi semuanya, baik yang ada dan tidak ada, yang hidup dan mati, yang berkaitan dengan duniawiyah maupun akhirat semuanya dalam kekuasanNya tanpa kecuali, karena kehidupan ini ada atas rahman dan rahimNya.
Dan karena pemahamanku ini, duniapun aku pandang seperti itu termasuk dalam mengasihi sesama manusia dalam kehidupan sosialku waktu itu, termasuk yang aku ingat, akupun berkawan dan berteman dengan anak cina yang beda agama, belakang rumah sebagimana anak-anak sebaya. Bahkan dalam suatu kejadian aku pernah membawakan roti yang aku bawa dari pengajian di masjid untuk makan malamnya, karena malam itu ia dihukum bugil diluar rumah, dan itu aku lakukan tanpa mau tau siapa dia dan juga siapa Tuhannya.

TUHAN yang kufahami dan yakini
Ketika aku mulai sekolah di SMP dan Madrasah diluar desa baik secara sosial maupun pengetahuan aku mengalami banyak pergeseran, begitu juga ‘konsep’ku tentang Tuhan. Tuhan tak sebagaimana yang dulu kufahami sebagai pengayom semua dan pemberi rahmat dan rahim kepada setiap manusia di bumi ini, tak peduli ras, agama dan latarbelakang, di fase ini Tuhan menjelma dalam konsep ‘politik’/kepentingan agama dan ideologi tertentu.
Tuhan yang dulu begitu ‘meluas’ dan ‘meliputi’ segala sesuatu seakan menyempit menjadi Tuhan Islam atau bahkan versi ‘aliran’ yang aku pelajari. Tuhan yang dulu aku fahami menjadi muara semua yang ada dan kejadian di dunia ini seakan hanya menjadi Tuhan-ku sendiri, hanya milikku dan kepercayaan aliranku. Tuhanku disaat ini menjadi semacam ‘tukang’ yang atur ini itu, wajibkan ini itu harus begini dan begitu, yang ini salah dan yang itu benar, Tuhan menjadi (tentunya melalui penafsiran yang aku pelajari saat itu) hakim atas keyakinan dan kebenaran apa yang menjadi ‘pemahaman’ diluar agama yang aku anut.
Teman cina yang dulu  begitu akrab menjadi begitu aku benci dan musuhi, semua ini karena ajaran dari pemahaman yang aku dapat kala itu, bahwa cina itu ‘kafir’ dan kelak pasti akan masuk neraka, Tuhanku begitu tidak mungkin bisa menerima dia, bagaimana mungkin aku akan mau menerimanya, Tuhanku menjadi ‘galak’ dan seakan tidak mau tau akan ‘kepercayaan’ atau ‘ajaran’ lain selain yang Dia (Tuhan) ajarkan melalui agamaku, Islam. Dan atas dorongan pemahaman yang begitu aku menjadi jauh dan bermusuhan dengan teman akrabku dulu itu, atas nama agama dan Tuhanku.
Setelah, aku masuk pesantren dengan berbagai ajaran, perilaku, tradisi, keyakinan dan pemahaman khasnya atas pemaknaan hidup dan kehidupan ini, pengalaman ‘spiritual’ku mengalami fase perubahan lagi yang cukup penting, juga berkaitan tentang pemahaman atas Tuhan. Di pesantren Tuhan hadir dan dikenalkan begitu ‘intim’ dalam perilaku kehidupan sehari-hari, Tuhan hadir 24 jam bahkan Tuhan ada disetiap denyut nadi kegiatan pesantren, kurikulum dan pendidikan yang diajarkan semua mengacu dalam rangka pengagungan nama dan kebesaranNya.
Tuhanku saat ini begitu hidup dan mewarnai sikap dan perilakuku, Tuhan setiap waktu senantiasa ku-kuduskan dalam rilaku dan ‘tirakat’ yang sebagian besar dilakukan para santri, mulai dari puasa senin-kamis dan puasa sunah lain, bahkan Tuhan senantiasa kami wiridkan setiap waktu, jadi ketika itu Tuhan terasa begitu dekat dan hubunganku sangat personal denganNya, Tuhanku begitu dekat dan intim, sublim!
Saking dekatnya kadang Tuhan menjadi sangat personal dan menjadi kita seakan manusia yang mencapai puncak tertinggi dalam tahapan pencarian pemahaman atas diriNya. Namun sementara itu, lagi-lagi karena faktor ruang dan waktu yang menyejarah dan karena itu terjadilah sebuah penafsiran yang kondisional, saat itu Tuhan yang aku fahami dan kenal sangatlah identik dengan dimana aku menimba ilmu dan belajar, pesantren.
Pesantren identik dengan NU yang memiliki pandangan yang khas dibanding berbagai aliran yang ada dalam Islam khususnya Muhammadiyah. Memang dalam ber-madzab di NU dikenal pemikiran dan ajaran dari 4 madzab yang ada, Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi, meski pandangan dan ajaran keempatnya bisa diterima dan dilakukan, namun tak bisa dipungkiri Syafi’iyahlah yang paling kuat dianut dalam aplikasi pelaksanaan ajaran agama sehari-hari, termasuk konsepnya tentang Tuhan yang bersandar pada teologi Imam Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, dan pada keduanyalah konsep Tuhanku diajarkan. Bahkan ketakutanku setiap bertemu dengan anjing sampai saat ini adalah hasil keberhasilan Imam Syafi’i dalam “menancapkan” pengaruh tentang hukum najis mugholadoh atasnya.
Tuhan yang punya hak veto dan tidak wajib menghukum umatnya yang melanggar serta sebaliknya tidak wajib ‘mengganjar’ umatnya yang berbakti, karena sesungguhnya Tuhan sangatlah ‘berkuasa’ atas setiap kehendaknya dan tak mungkin dibatasi oleh hak-kewajiban tertentu atas suatu hal, kekuasaanNya mutlak tanpa batas dan Tuhan berhak untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Tuhanku saat ini begitu sempurna tanpa cacat dan tak terjangkau oleh logika manusia, Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, Tuhannya semua manusia yang meliputi segala, suku ras dan agama, Tuhan abadi dan tak tertandingi dimana segala sesuatu berasal dan hanya karenaNyalah ada dan dapat terjadi seperti sekarang ini.
Dalam fase ini pemahaman keagamaanku dengan konsep Tuhan yang seperti itu menjadikanku begitu tertib dan shaleh, Tuhan menjadi tempat dimana semua hal disandarkan, Tuhan menjadi semacam ‘pengawas’ yang senantiasa melihat gerak-gerik dan perilakuku setipa saat dan waktu, dikala bangun dan tidurku, Tuhan begitu meng-ada dalam setiap langkah dan tindak-tandukku, semua terjadi dan berlangsung begitu saja seiring dengan realitas sosial-keagamaan yang ada di pesantren, aku menjadi begitu shaleh dan taat serta melakukan setiap kewajiban ibadah yang ada, bahkan perintah sunah pun banyak yang aku lakukan, Tuhan begitu merasuk dan masuk dalam jiwaku.
Dan semua itu berjalan terus menerus selama 6 tahun di pesantren, seakan semua menjadi sebuah rutinitas dan otomatis, aku bagaikan ‘robot’ yang religius dan disetir oleh remot Tuhan, mulai bangun subuh  sampai tidur lagi dan bangun lagi semua diisi oleh ibadah dan kegiatan belajar dan Tuhan senantiasa ada dalam diri dan lingkunganku, aku begitu religius dan taat. Entah bagaimana menjelaskannya, ada semacam ‘keterpaksaan’ dalam hubunganku dengan Tuhan saat itu, namun begitu aku hayati dan nikmati, sebuah situasi antara keterpaksaan dan ketundukan yang begitu indah dan mengasyikkan, aku dan Tuhan terasa begitu dekat, dan dengan itu, aku ketika itu merasa sangat religius dan shaleh.
Namun tetap saja karena dogma dan doktrin yang aku terima, Tuhanku hanya terbatas milik golonganku, dengan perilaku dan pandangan kami begitu ‘sinis’ terhadap ajaran pemahaman yang berbeda semisal dengan Muhammadiyah, terutama soal tahlil dan batalnya wudlu setelah ‘nggepok’ istri dan tidak adanya qunut dalam sholat subuh mereka, tapi anehnya dengan yang non-Islam kami begitu dekat, berbeda dengan Tuhanku ketika SMP dan madrasah dulu, yang membuatku membenci seorang cina teman akrabku. “Tuhanku lagi-lagi dengan sengaja atau tidak aku belenggu dalam pemahamanku atas diriNya”.

TUHAN yang (coba) kucari dan definisikan

Kiaiku, ketika aku pamit dan mohon restu untuk melanjutkan kuliah setelah 6 tahun berguru dan mengabdi padanya, hanya berpesan satu hal “kalau mau neruskan kuliah, jangan ambil jurusan selain ushuluddin, mending mondok lagi di pesantren” begitu pesan penting yang aku ingat, dan akhirnya aku terdampar di Fakultas ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta waktu itu. Dan dalam proses pencarian dan pemahamanku tentang Tuhan akan sangat berubah, mengalami dis-orientasi dan refleksi yang luar biasa dalam fase ini.
Karena Tuhan ketika aku kuliah filsafat tak hanya menjadi bahan pencarian namun juga semacam obyek penelitian, Tuhan tak hanya didefiniskan namun juga dipertanyakan bahkan digugat dan disangsikan keberadaan dan fungsinya. Tuhan seakan hanya menjadi bagian kecil dari proses kehidupan ini, atau bahkan ada dan tidaknya Tuhan menjadi hal yang tak penting. Dalam fase ini terjadilah proses refleksi dalam diriku bahkan sampai pada taraf dis-orientasi, Tuhan yang dulu begitu dekat dan sublim dalam diriku, Tuhan yang dulu hadir dalam segenap langkah dan fikiranku yang menjadikan aku taat dan shaleh, seakan sirna dan bahkan Tuhan seakan berada diluar logika dan nalarku.
Semua ini terjadi karena aku sedang mengalami ‘euforia’ dan ‘shock’ secara spiritual karena dulu ketika ‘nyantri’, filsafat menjadi ‘barang’ haram dan tidak diperkenankan dipelajari, Tuhan hanya dihadirkan dan diajarkan kepadaku melalui ‘kepercayaan’ dan ‘hati’ saja tanpa nalar dan logika.
Tuhan saat itu menjadi dogma dan sesuatu yang final dan tak perlu dipertanyakan lagi, sementara filsafat tidak, ia bersifat ‘radikal’ dan ‘substansial’, sehingga Tuhanpun aku coba rasionalkan, dengan segap curahan fikiran dan teori, sampai ada adagium dari Heidegger yang sangat aku jadikan pegangan “Kalau kau mau mendapatkan ketentraman dan kedamaian jiwa percayalah, namun jika kau mau jadi murid kebenaran, maka carilah”,
Hampir selama tiga tahun pertama kuliah di S1 filsafat, segenap ritual keagamaan bahkan kepercayaanku sebelumnya kepada Tuhan aku tanggalkan, semua ku refleksikan pada titik nadir dan aku pertanyakan banyak hal tentang kehidupan termasuk soal Tuhan, mesti tak kutemukan jawaban yang pasti dan memuaskan tentang misteri hidup dan Tuhan, namun setidaknya aku menemukan sebuah “kesadaran” bahwa bagaimana mungkin mencari dan menemukan TUHAN dengan pemahaman atasnya/“Tuhan” dengan huruf kecil melalui otak kita yang sangat terbatas, bagaimana mungkin mencari jawab tentang TUHAN ketika misteri kehidupan ini saja kita tak mampu menjawabnya, akhirnya alhamdulillah TUHAN kembali hadir dalam benak dan kehidupanku dengan pemahaman dan keyakinan yang berbeda dari sebelumnya, ada sesuatu yang lain, “ketundukan” dan “kesadaran” yang ihlas tanpa pamrih dan terpaksa karena bapak, kiai atau guru madrasahku.
Ritual keagamaanku yang dulu aku lakukan atas dasar kebiasaan dan secara otomatis menjadi sesuatu kesadaran, kebutuhan dan ‘kepasrahan’ seorang hamba. Ketaatan dan keshalehanku yang dulu karena ajaran dan didikan, seakan menjadi semacam “kewajaran” dan aku lakukan dengan sepenuh hati dan fikiran, akhirnya ketika aku mencari TUHAN dengan konsep Tuhan (huruf kecil) tentu akan sulit untuk menemukanNya dan adagium Heidegger aku balik “Jika kau mau menjadi murid kebenaran, carilah, namun jika kau mau ketentraman dan kedamaian jiwa maka percayalah”
Bagiku kini, pada satu titik sesungguhnya TUHAN merupakan hal yang tak terdefinisikan, Tuhan yang selama ini aku fahami dan yakini atau bahkan yang mungkin difahami dan yakini semua orang, dengan berbagai konsep dan definisi yang ada, bukanlah TUHAN yang hakiki! Dan saat ini TUHAN yang aku fahami, yakini dan taati, hanya Aku dan TUHAN yang tau!!!
Wallahu ‘a’lamu bi al-showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar