Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).
Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.
Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya.
Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia.
Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.
Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.
Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal.
Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majhapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majhapahit;
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur
Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda.
Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.
Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur.
Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan.
Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan).
Gejala pendewaan terhadap raja atau kepada seseorang yang telah meninggal merupakan akibat pembauran antara pemujaan arwah leluhur dan Hindu-Budha masa Singhasari- Majhapahit. Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca mencatat pujaan tertinggi Bhre Hyang Wkas ing Sukha (Hayam Wuruk) adalah Sanghiyang Acalapati (Raja Gunung = Roh yang bersemayam di Gunung)
Kedudukan arca dewa sebagai raja pada hakekatnya sama dengan kedudukan menhir dalam budaya megalitik masa prasejarah. Konsep menhir didirikan sebagai tanda jasa kepala suku yang menyelenggarakan pesta jasa, feast of merit, untuk dinikmati masyarakatnya. Setelah kepala suku tersebut meninggal, menhir, yang semula sebagai simbol jasa ketika masih hidup kemudian berubah menjadi simbol (lambang) kepala suku. Roh kepala suku dianggap sebagai pelindung desa dan pembimbing masyarakat diundang turun masuk menhir melalui upacara tertentu, maka masyarakat langsung berhubungan dengan Roh Leluhurnya.
Faktor pendorong utama kebangkitan kepercayaan asli masa Majhapahit adalah situasi sosial politik yang kian goncang akibat inovasi Islam. Saat yang sama penganut kepercayaan pribumi tetap menjalankan eksistensinya bahkan kian merasuk teguh menjiwai konsep Hindu-Budha.
Maka serentak hadir gerakan millenarisme, gerakan menyelamatkan dan kebangkitan, yakni mengembalikan kepercayaan Asli pribumi dimana gunung merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau nenek moyang yang didewakan. Yang pada hakekatnya adalah Hiyang, Sang Rumuhun, Leluhur.
Gejala millenarisme tersebut dihubungkan dengan dipahatkannya relief-relief cerita ruwatan atau kaleupasan seperti yang ter-cermin pada bangunan-banguan suci yang mengacu kepada karyasastra keagamaan bertemakan konsep dewa-dewa asli, Pribumi. Diantaranya cerita Suddhamala Bhimaruci, Bubuksah Gagang Aking, Tantu Pangglaran.
Gunung Pananggungan, Gunung Arjuna,dan Gunung Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi kehadiran gejala millenarisme “kebangkitan” unsur kepercayaan asli dengan corak dan gaya seni ciri Majhapahit akhir yang sangat jauh berbeda dengan Hindu-Budha. Ciri kesenian asli lebih nampak alami, pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk, perut dan pantat besar. Penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional sebenarnya adalah elemen-elemen naturalis yang asli Pribumi.
Gejala kesengajaan dilatari konsep kepercayaan asli, mengutamakan simbolis daripada ketepatan susunan anatomisnya, sebab lebih dilatari dan ditujukan langsung kepada nilai spiritual dan magis dari pada nilai keindahannya. Senarai pemikiran personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia sehingga diupayakan berkesan statis sesuai kondisi seseorang yang telah meninggal, yang bersemayam di puncak gunung.
Gejala mesianik memuja yang dianggap akan atau mampu menyelamatkan dunia adalah untuk memperoleh kalepasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting. Gejala mesianik yang disebut milenarisme adalah sejajar dengan ajaran para Resi yang sejak awal telah ada dan merupakan kelompok spiritual dengan memilih kehidupan di dalam lingkungan yang sunyi-terpencil. Semacam padepokan dengan menampilkan tokoh Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan.
Bima di sini dihubungkan dengan “Pahlawan Keagamaan” berkenaan dengan unsur bersatunya kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha Suksma. Selaras peristiwa yang dialami Bhima tatkala keluar dari dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya. Keagamaan Majhapahit lebih mempertegas hubungan konvensional dan kepercayaan lingkungan alam, yang sesungguhnya adalah representasi mental yang pernah berlaku sejak awal dengan fokus utama keyakinan kepada nenek moyang yang disebut leluhur, rumuhun atau Sang Hyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar