Ir. Sakirman (1963)
Penerbit: Yayasan Pembaruan, Jakarta 1964
Naskah asli diperoleh dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (Perdoi), Amsterdam, Belanda.
Laporan Tambahan tentang soal-soal ekonomi kepada Sidang Pleno ke-II CC PKI yang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central, di Jakarta tanggal 23-26 Desember 1963
Isi
I. Situasi Ekonomi yang parah akibat penyelewengan Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei
II. Memenangkan konfrontasi ekonomi terhadap “Malaysia”
III. Laksanakan garis Manipol di bidang perdagangan luas dan dalam negeri
IV. Atasi krisi beras
V. Atasi Kemacetan produksi dan komunikasi
VI. Tolak “Bantuan” dari manapun yang merugikan Indonesia
VII. Teruskan pembangunan berencana yang demokratis dan patriotik
***
Kawan Ketua,
Kawan-kawan Pimpinan, dan
Kawan-kawan lainnya yang tercinta,
Saya pertama-tama menyatakan persetujuan saya atas seluruh isi Laporan
Politik Kawan Ketua yang telah disampaikan kepada Sidang Pleno Ke-II CC
ini. Saya juga dapat menerima dan menyetujui sepenuhnya kebijaksanaan
yang telah dilakukan oleh Pimpinan Partai selama periode antara Sidang
Pleno ke-I dan Sidang Pleno ke-II.
Saya akan memberikan Laporan Tambahan yang berisi pada pokoknya
perincian lebih lanjut mengenai soal-soal ekonomi, dengan memberikan
perhatian khusus kepada beberapa segi perkembangan ekonomi sosial kita
pada waktu-waktu belakangan ini.
I
SITUASI EKONOMI YANG PARAH AKIBAT PENYELEWENGAN PERATURAN-PERATURAN EKONOMI 26 MEI
Waktu 7 bulan adalah sangat pendek dalam sejarah, dan lebih pendek
bagi konseptor-konseptor Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Para
konseptor dan arsitek, begitu juga para pembela yang setia daripada
Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei tidak pernah memimpikan bahwa
Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang mereka gembar-gemborkan sebagai
“peraturan-peraturan untuk melaksanakan DEKON”, hanya berumur 7 bulan,
tidak lebih dan tidak kurang. Dan ini pun jika kita pakai ukuran-ukuran
formil yuridis berdasarkan keterangan Pemerintah di depan Sidang Pleno
DPR-GR tanggal 12 Desember 1963 yang baru lalu. Presiden Sukarno sendiri
telah lebih dulu, yaitu dalam sidang PB FN pada tanggal 5-6 September
1963 yang lalu menyatakan pendapatnya dapat menyetujui keputusan Sidang
Pleno PB FN itu untuk mengubah Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei.
Belum pernah terjadi dalam sejarah perkembangan ekonomi Indonesia,
bahwa dalam waktu 7 bulan situasi ekonomi kita telah mengalami
kekacauan-kekacauan dan kerusakan-kerusakan yang begitu hebatnya dengan
akibat-akibatnya yang sangat luas dan mendalam. Hal ini disebabkan,
karena berbeda dengan banyak peraturan-peraturan yang telah diadakan
selama beberapa tahun terakhir ini, seperti peraturan-peraturan SIVA,
peraturan-peraturan Oktober 1962 dan lain-lain, Peraturan-peraturan 26
Mei bukanlah suatu tindakan moneter konvensional semata-mata, akan
tetapi sudah jauh melampaui batas-batas “wewenang” konsepsi konvensional
yang klasik, disebabkan karena peraturan-peraturan itu:
Pertama:
Memberikan dasar yang legal sekaligus kepada tindakan devaluasi resmi
dan devaluasi de facto, sehingga nilai tukar rupiah kita menjadi sangat
merosot dan akan terus merosot dalam ukuran-ukuran yang tidak ada
taranya dalam sejarah. Devaluasi resmi ini dilakukan lewat apa yang
dinamakan perangsang rupiah bagi kaum eksportir dan pungutan HPN (Hasil
Perdagangan Negara) atas barang-barang impor sebanyak Rp270,-- untuk
setiap AS $, sehingga kurs resmi dan legal rupiah kita terhadap AS $
menjadi sama dengan Rp270,-- + Rp45,-- = Rp315,--. Devaluasi de facto
dilakukan lewat HPN tambahan sebanyak Rp225,-- untuk barang-barang
golongan II dan Rp495,-- untuk barang-barang golongan III, dan lewat bea
masuk sebanyak 50% dan 100% bagi masing-masing golongan itu. Dengan
begitu, maka harga barang impor barang-barang golongan I sekalipun tidak
dikenakan HPN tambahan dan bea masuk, barang-barang golongan I seperti
beras, harganya menjadi 7 kali lipat dibandingkan dengan harga sebelum
berlakunya Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei. Sedangkan, dengan
pengetahuan sederhana dapat dibuat perhitungan, bahwa harga impor (landed cost)
barang-barang golongan II, misalnya sebuah motor disel dengan kekuatan
40 tk, jika diimpor dengan devisa retensi dari eksportir, bisa mencapai
sekurang-kurangnya Rp2000,-- untuk setiap dolar, sehingga kurs efektif
untuk setiap dolar meningkat menjadi 45 kali lipat dibanding kurs resmi
sebelum berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu.
Kedua: Membukakan pintu yang selebar-lebarnya bagi PDN-PDN untuk
menjalankan politik liberalisasi harga sehingga praktis kedudukan
PDN-PDN merosot menjadi sama dengan perusahaan-perusahaan dagang
“swasta” yang spekulatif , dan langsung menyerang prinsip-prinsip
ekonomi terpimpin sebagaimana telah dirumuskan dalam Manipol dan Dekon.
PDN-PDN bukan saja diperbolehkan, malahan diharuskan mengejar harga
pasaran bebas yang spekulatif sampai kepada tingkat sekurang-kurangnya
70% dari harga pasaran bebas itu. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa
kaum kapitalis birokrat dalam PDN-PDN diberi kebebasan main kongkalikong
dengan tukang-tukang catut untuk mendorong harga barang-barang golongan
II dan golongan III sampai setinggi langit dengan akibat sangat
merugikan Rakyat banyak, terutama kaum konsumen miskin, dan hanya
menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing, kaum komprador, kaum
kapitalis birokrat dan kaum spekulan.
Ketiga: Menetapkan politik tarif yang kejam dengan menaikkan secara
resmi tarif-tarif listrik, angkutan di laut, darat dan udara dengan
300-400% sehingga sangat mendorong lebih pesat lagi membubungnya
harga-harga dan memperhebat inflasi terbuka.
Inilah isi dan jiwa yang sesungguhnya daripada teror
Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei yang dengan tepat sekali telah
disimpulkan oleh Politbiro CC Partai dalam pernyataannya pada tanggal 3
Juni 1963 yang lalu: devaluasi, liberalisasi dan kenaikan harga-harga.
Berdasarkan pengalaman Rakyat sendiri di waktu-waktu yang lampau
yang sangat pahit mengenai tindakan-tindakan moneter Pemerintah dan
berdasarkan analisa yang ilmiah mengenai arah perkembangan moneter yang
pasti akan timbul setelah berlakunya Peraturan-peraturan 26 Mei itu,
maka Partai telah mengambil sikap yang tepat pula untuk menolak
penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei itu. Tindakan-tindakan moneter
konvensional yang semata-mata dimaksudkan untuk melegalisasi devaluasi,
liberalisasi dan kenaikan harga-harga dengan loncatan-loncatan yang
tinggi itu adalah suatu perbuatan teror di bidang ekonomi dan keuangan,
yang memang dikehendaki oleh kaum imperialis Amerika Serikat sesuai
dengan apa yang dinamakan “program stabilisasi ekonomi”, suatu tindakan
yang akan meratakan jalan untuk menjamin lebih tergantungnya lagi
ekonomi Indonesia kepada kaum imperialis Amerika Serikat.
Kebenaran sikap Partai kita untuk menolak mentah-mentah
Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei dan bukti-bukti kegagalan total
daripada “program stabilisasi ekonomi” kaum imperialis itu telah lebih
diperkuat lagi oleh fakta-fakta dan kenyataan-kenyataan daripada
praktek-praktek peraturan itu selama 7 bulan belakangan ini.
Uang yang beredar yang menurut taksiran pada akhir tahun 1961 berjumlah
kurang lebih Rp67 miliar, telah meningkat pada akhir tahun 1962 menjadi
tidak kurang dari Rp130 miliar dan sekarang pada akhir tahun 1963
menurut perkiraan tidak berkurang malahan sebaliknya bertambah menjadi
lebih dari Rp200 miliar, sedangkan defisit Anggaran Pembelanjaan Negara
yang direncanakan sebanyak Rp33, 4 miliar menurut perkiraan telah
meningkat sampai 4 kali lipat.
Di bidang harga barang-barang kebutuhan pokok misalnya indeks harga
beras 2.607 pada bulan Januari, telah menjadi 7.564 dalam bulan Desember
tahun 1963 ini, berdasarkan indeks 1955 = 100. Jadi dalam tempo satu
tahun harga beras telah meningkat menjadi 3 kali lipat. Ini semua adalah
angka-angka resmi yang sudah tentu berbeda daripada kenyataan-kenyataan
yang sesungguhnya berlaku dalam praktek. Menurut kenyataannya, harga
beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mencapai tingkat kegila-gilaan
yang belum pernah kita alami dalam zaman kemerdekaan ini, termasuk
jaman Revolusi 1945-1948 yang keadaannya jauh lebih sulit daripada
keadaan sekarang ini.
Menurut laporan-laporan dari daerah-daerah, maka harga beras di
beberapa tempat, misalnya Malang, Surabaya, Semarang, Magelang,
Yogyakarta, dan lain-lain sudah bergerak antara Rp175,-- sampai Rp200,--
setiap kilogram, dan di samping itu beberapa daerah pedesaan yang
biasanya terkenal sebagai daerah “surplus” tidak luput pula dari bahaya
penyakit busung lapar atau bahaya kekurangan makan, sehingga Komando
Aksi Anti-lapar Jateng telah terpaksa menggerakkan usaha-usaha praktis
guna membantu meringankan penderitaan Rakyat di beberapa tempat.
Sementara itu di beberapa daerah, telah diusahakan juga untuk menjual
gaplek dengan harga yang lebih rendah daripada harga umum sebanyak
beberapa puluh ton dari Wonogiri dan Boyolali, sedangkan Pemerintah
Pusat telah menyatakan kesanggupannya untuk mengirim 40.000 ton beras.
Dalam hal “perlombaan” menderita kekurangan bahan-bahan makanan
khususnya beras rupanya Jawa Barat juga tidak mau “ketinggalan”, dan
terutama daerah Kuningan dan Indramayu dimana penduduk dari banyak desa
sudah menunjukkan gejala-gejala penyakit “hongeroedeem”.
Kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin, sangat menderita akibat
penyelewengan Peraturan-peraturan 26 Mei. Di satu pihak daya beli
mereka telah sangat merosot, akibat kenaikan harga barang-barang
kebutuhan mereka, di pihak lain harga hasil-hasil pertanian dan ternak
merosot karena kesulitan-kesulitan pengangkutan dan ongkos-ongkos
pengangkutan yang naik secara gila. Barang-barang kebutuhan kaum tani
yang sangat naik harganya, bukan saja tekstil, gula pasir, minyak tanah,
minyak kelapa, sabun, akan tetapi juga alat-alat pertanian dan pupuk.
Pupuk ZA misalnya yang harga resminya Rp3,75 naik menjadi Rp20,10 dan
pupuk urea dari Rp7, 50 naik menjadi Rp25,-- setiap kilogramnya.
Betapa merosotnya daya beli Rakyat pekerja, karena sangat naiknya
ongkos-hidup, dapat antara lain dibuktikan bahwa masih banyak upah
daripada pekerja harian Pemerintah pada umumnya sekarang berjumlah hanya
Rp25,-- sehari, sedangkan di banyak tempat mereka belum juga mendapat
pembagian beras secara teratur dan kontinu.
Telah kita ketahui semua, bahwa dengan Rp25, -- itu hanya cukup untuk membeli 1 gelas strup es.
Nasib kaum intelektual pekerja juga tidak luput dari serangan-serangan
teror Peraturan-peraturan 26 Mei. Hampir semua golongan intelegensia
pekerja sudah tidak sanggup lagi hidup semata-mata dari gajinya yang
diterima dari satu sumber saja.
Untuk menutup kekurangan anggaran biaya rumah tangganya, mereka pada
umumnya berusaha mendapatkan sumber-sumber penghasilan lain, dan ini
sudah tentu sangat mengurangi prestasi mereka di tempat-tempat pekerjaan
mereka yang pokok.
Bukan saja Rakyat pekerja kaum buruh, tani, nelayan, pekerja-pekerja
kerajinan tangan dan kaum intelegensia yang mengalami penderitaan hebat
akan tetapi juga kaum pengusaha industri sedang dan kecil terutama
pengusaha-pengusaha industri khususnya industri tenun. Dalam banyak
surat-surat kabar belum lama berselang tersiar kabar, bahwa kaum
pengusaha tenun di daerah-daerah Klaten misalnya, menjerit-jerit, karena
Peraturan-peraturan 26 Mei telah “memotong” modal kerja mereka dengan
tidak kurang dari 80-85%, sehingga likuiditas mereka tinggal tidak lebih
dari 15%. Ini adalah pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam
“koperasi” yang biasanya mendapat pembagian bahan-bahan baku dan benang
tenun dari Pemerintah, sedangkan pengusaha-pengusaha tenun sedang dan
kecil yang biasanya terpaksa berusaha sendiri untuk mendapatkan
bahan-bahan baku dan benang tenun dari pasaran bebas pada umumnya telah
gulung tikar atau menghadapi kebangkrutan.
Dan menurut perkembangan yang terakhir, maka 75% dari industri kecil
dewasa ini sudah tidak bekerja lagi, karena menjerit kesulitan-kesulitan
mendapatkan bahan-bahan baku, dan apabila bahan-bahan baku ini ada,
maka tidak terbeli lagi. Ini adalah akibat Peraturan-peraturan 26 Mei
yang memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada tukang-tukang catut
besar, untuk memborong bahan-bahan itu dengan tujuan menjualnya lagi
dengan harga yang lebih tinggi.
Koperasi-koperasi konsumsi baik koperasi pegawai negeri maupun
koperasi-koperasi rukun kampung atau koperasi desa sebagian besar
terpaksa gulung tikar karena tidak dapat menebus barang-barangnya dari
PDN-PDN dan karena kesulitan-kesulitan pengangkutan.
Angka-angka lengkap tentang produksi perkebunan selama 6 bulan terakhir
ini, belum tersedia untuk dibandingkan dengan angka-angka produksi
selama pertengahan selama tahun 1963. Akan tetapi dari fakta-fakta yang
sudah kita peroleh, mengenai akibat-akibat Peraturan-peraturan 26 Mei di
bidang perkebunan sudah dapat memberikan gambaran-gambaran jelas, bahwa
Peraturan-peraturan 26 Mei sangat memerosotkan produksi perkebunan baik
swasta maupun Pemerintah. Pimpinan perkebunan swasta di Jawa Barat
misalnya akan terpaksa mengurangi atau menghentikan sama sekali
kegiatannya, karena mereka tidak sanggup lagi memberikan catu beras
kepada 500.000 kaum buruhnya sebanyak tidak kurang dari 25.000 ton
setiap bulan dengan harga Rp160,-- setiap kg.
Di bidang pertambangan telah kita lihat kenyataan, bahwa ongkos
produksi TABA, misalnya meningkat dari Rp103,5 juta menjadi tiga kali
lipat yaitu lebih kurang Rp310,-- juta, menurut keterangan ketua SBTI,
pada tanggal 26 Juni 1963 di depan Sidang PB FN.
Akhirnya, tidaklah perlu diterangkan lagi, bahwa pengeluaran Pemerintah
Pusat maupun Daerah, dengan adanya Peraturan-peraturan 26 Mei itu,
secara umum sangat meningkat. Beberapa minggu yang lalu Pemerintah telah
terpaksa mengambil keputusan untuk memberikan kredit tambahan sebanyak
Rp9,8 milyar kepada PDN-PDN untuk memperkuat likuiditas PDN-PDN itu.
Demikianlah gambaran ringkas tentang praktek-praktek daripada
Peraturan-peraturan Ekonomi 26 Mei di beberapa bidang kehidupan ekonomi
dengan bukti-bukti yang hidup bahwa Peraturan-peraturan itu bukan saja
tidak berhasil mencapai maksud yang direncanakan, akan tetapi sebaliknya
telah membikin lebih rusak dan lebih parah lagi situasi ekonomi pada
umumnya dan situasi moneter khususnya, serta lebih memberatkan beban
penghidupan Rakyat pekerja, terutama kaum buruh dan kaum tani.
Pemerintah dalam keterangannya di depan Sidang Pleno DPR-GR pada
tanggal 12 Desember 1963 yang lalu telah menyatakan pengakuannya dengan
terus terang bahwa Peraturan-peraturan 26 Mei telah mengalami kegagalan
dengan mengemukakan pula sebab-sebab kegagalan itu yaitu karena “terlalu
banyak mengharapkan bantuan beratus-ratus juta dollar dari luar
negeri”.
Ini adalah salah satu sebab kegagalan. Sebab-sebab yang
lain adalah karena konseptor-konseptor Peraturan-peraturan 26 Mei
dengan tidak tahu malu telah melanggar dan menginjak-injak Gesuri dan
Dekon, meninggalkan prinsip musyawarah dan mufakat dan tetap berpegang
kepada teori-teori ekonomi liberal, teori ekonomi neo-kolonialisme yang
sudah lama dicekokkan oleh kaum imperialis kepada “ahli-ahli” ekonomi
soska dan Masyumi, teori ekonomi yang reaksioner dan bertentangan sama
sekali dengan Manipol dan Dekon, bertentangan sepenuhnya dengan
patriotisme ekonomi.
II
MEMENANGKAN KONFRONTASI EKONOMI TERHADAP “MALAYSIA”
Proyek neo-kolonial “Malaysia”, sebagai suatu manifestasi
imperialisme Inggris yang mendapat sokongan penuh dari imperialisme
Amerika Serikat bertujuan untuk mengepung dan menghancurkan samasekali
hasil-hasil Revoluasi Agustus 1945.
Dibidang ekonomi “Malaysia” akan memaksakan Indonesia supaya melepaskan
politik perdagangan luarnegerinya, melepaskan pembangunan berencana,
yang dalam batas-batas tertentu merugikan kaum imperialis dan dengan
begitu mempertahankan ketergantungan ekonomi Indonesia kepada
“Malaysia”. Maka itu, sikap Indonesia untuk memutuskan hubungan
ekonominya dengan “Malaysia” sebagaimana yang digariskan oleh presiden
Sukarno adalah suatu sikap yang tepat dan tegas. Sikap ini sesuai dengan
tuntutan Rakyat dari semua golongan dan lapisan yang berjuang, sesuai
dengan tuntutan yang telah dikemukakan oleh Kawan Njoto dalam Sidang PB
FN pada akhir bulan September 1963 yang lalu, bahwa konfrontasi kita
terhadap “Malaysia, adalah konfrontasi total, -- politik, ekonomi,
militer dan kebudayaan.
Konfrontasi kita di bidang ekonomi seharusnya berkembang ke arah dua jurusan:
1. pukulan-pukulan langsung kepada “Malaysia” berupa pemutusan
hubungan ekonomi seperti yang telah dijalankan sekarang, dan mengambil
tindakan-tindakan terhadap perusahaan-perusahaan kaum imperialis Inggris
dan perusahaan-perusahaan kaum imperialis lainnya yang menyokong
“Malaysia” terutama AS;
2. bersamaan dengan itu mengambil tindakan tegas menanggulangi soal
ekonomi, tindakan-tindakan yang kongkrit untuk memperbaiki penghidupan
Rakyat, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat membangkitkan serta
keuletan kerja Rakyat.
Dalam pada itu, perjuangan mengganyang “Malaysia” di bidang ekonomi
harus pula sejauh mungkin meletakkan dasar untuk membangun ekonomi
Indonesia yang tidak tergantung, ekonomi yang merdeka penuh, bebas
daripada sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme seperti
dinyatakan dalam Dekon. Jadi harus diberantas usaha-usaha dari sementara
golongan yang ingin menggerowoti tindakan-tindakan konfrontasi itu di
satu pihak bersikap pasif terhadap pemutusan hubungan ekonomi dengan
“Malaysia”, dan di pihak lain berusaha memindahkan ketergantungan
Indonesia dari “Malaysia (cq Singapura, Penang dan Malaya) kepada
Hongkong dan negara-negara imperialis lainnya, secara langsung atau
tidak langsung.
Singapura, Penang dan Malaya mempunyai peranan yang sangat penting
sebagai pusat-pusat perdagangan barang-barang ekspor Indonesia.
Barang-barang ekspor ini, terutama karet, minyak hasil maskapai-maskapai
asing, kopra, lada, timah dan minyak sawit direekspor ke Amerika
Serikat Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.
Menurut catatan-catatan resmi, maka jumlah nilai ekspor Indonesia ke
Singapura, Penang dan Malaya dalam tahun 1961 tidak kurang dari AS
$215,8 juta atau Rp9.810,-- juta dan merupakan 27,3% dari nilai seluruh
ekspor Indonesia.
Dari jumlah ini, nilai ekspor karet ke Singapura dan Penang meliputi
Rp3.770,-- juta atau hampir 40%, timah Rp800,-- juta atau 8,15% dan
kopra Rp780,-- juta atau hampir 8% dari seluruh nilai ekspor Indonesia
ke Singapura, Penang dan Malaya.
Seperti akan diuraikan lebih lanjut, maka perdagangan transito
dengan Singapura sebagai pusatnya yang diperlengkapi dengan pelabuhan
bebas dan macam-macam variasinya lagi adalah identik dengan dengan
penyelundupan. Menurut angka-angka yang dapat dikumpulkan dan yang
kebenarannya tidak perlu diragukan, maka jumlah karet yang diselundupkan
ke Singapura dari tahun 1954 sampai tahun 1960 saja tidak kurang dari
1.050.000 ton atau rata-rata lebih kurang 150.000 ton setahun, sedangkan
jumlah kopra yang diselundupkan setiap tahunnya, -buat sebagian besar
ke Singapura, -lebih kurang 100.000 ton.
Sikap tegas dari Pemerintah yang telah digariskan oleh Presiden Sukarno
untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan “Malaysia”, ternyata telah
membawa akibat-akibat yang sangat berat bagi “Malaysia”. Dalam tempo 3
bulan saja, menurut keterangan resmi dari apa yang dinamakan diri
“Menteri Perdagangan dan Industri Singapura” telah menderita kerugian
tidak kurang dari Str. $327 juta atau AS $109 juta. Dan bukan saja
pengusaha-pegusaha besar di Singapura telah mulai merengek-rengek agar
konfrontasi Indonesia di bidang ekonomi dihentikan, akan tetapi “Menteri
Perdagangan dan Industri Malaysia”, Lim Swee Aun, menurut berita dalam
harian “Ekonomi Nasional” tanggal 4 November 1963 yang lalu, telah
menyatakan, bahwa “Pemerintah ‘Malaysia’ tidak akan sampai kepada
penyelesaian politiknya dengan pihak Indonesia, apabila konfrontasi
ekonomi Indonesia terhadap ‘Malaysia’ tetap dilakukan”. Dan tidak kurang
dari kepala-boneka si Tengku sendiri yang pernah mengatakan bahwa
“konfrontasi Indonesia benar-benar akan mencekik lehernya ‘Malaysia’,
kecuali katanya, apabila bangsa-bangsa ‘Malaysia’ dengan segala jalan
berusaha untuk menarik sekutu-sekutunya (kaum imperialis Inggris dan
Amerika) ke dalam satu front yang bulat menghadapi Indonesia”.
Meskipun begitu, adalah keliru sekali untuk memperkecil kekuatan musuh,
lebih-lebih jika kita ketahui bahwa yang pegang peranan pokok di
belakang pembentukan negara neo-kolonial “Malaysia” adalah kaum
impersialis Inggris yang disokong oleh kaum imperialis Amerika Serikat
dan kaum reaksioner di negara-negara lain, seperti Jepang, Jerman Barat
dan lain-lain dan kaum kontra-revolusi di Indonesia, kaki tangan kaum
imperialis.
Untuk mengkonsolidasi dan mengembangkan tindakan-tindakan konfrontasi
ekonomi terhadap “Malaysia” lebih lanjut, harus diambil langkah-langkah
kongkrit dan berencana bukan saja di bidang teknis-ekonomis akan tetapi
juga di bidang keamanan dan aparatur, sebagaimana secara pokok telah
dikemukakan oleh Wakil-wakil CC Partai di depan Sidang PB FN pada akhir
bulan September 1963 yang lalu. Di bidang keamanan, kecuali harus
dijamin adanya penjagaan keras dan tegas terhadap lalu lintas di laut
antara RI dengan “Malaysia”, juga harus diambil tindakan untuk menyita
semua modal yang sebetulnya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Singapura,
akan tetapi, yang dengan menggunakan orang-orang Indonesia sebagai “stromannen” antara lain diinvestasi di bidang perusahaan remillling
di Sumatera Selatan. Sebaliknya harus juga diperiksa lebih jauh, sampai
dimana kebenaran berita-berita bahwa banyak pemilik-pemilik
perusahaan-perusahaan remilling di Indonesia yang menanam
modalnya di Singapura di bidang perusahaan karet yang berkualitas
tinggi. Tujuannya adalah untuk mengolah karet Rakyat tidak di Indonesia
tetapi di Singapura. Remilling-remillingnya di Indonesia hanya
dipakai sebagai kedok untuk membeli banyak karet Rakyat berkualitas
rendah, dan meneruskannya ke Singapura. Usaha-usaha dari
pengusaha-pengusaha gadungan di bidang penyelundupan yang sangat
merugikan perjuangan konfrontasi ini, tidak boleh kita perkecil artinya.
Untuk dapat menjalankan tugas berat di bidang keamanan ini dengan
sebaik-baiknya, maka dibutuhkan alat-alat negara yang berani bertindak
tegas, konsekuen, dan berjiwa Manipolis sejati. Demikian juga harus
dijamin agar aparatur perekonomian dengan personalianya yang biasanya
bertugas mengurusi soal impor-ekspor ke Singapura, Penang dan Malaya
benar-benar dapat menjalankan tugasnya yang sekarang, yaitu secara
konsekuen melakukan konfrontasi terhadap “Malaysia”.
Menurut berita terakhir banyak juga hasil-hasil yang telah tercapai di
bidang pemberantasan lalu lintas penyelundupan. Selama lebih kurang 3
bulan, telah dapat disergap 4 kapal “Malaysia” dan lebih kurang 50
perahu-perahu penyelundup yang memuat ratusan ton barang-barang terutama
barang-barang lux.
Dalam, hubungan ini kita dapat menyambut keputusan yang baru-baru ini
diambil oleh Gubernur Kepala Daerah Riau tentang prinsip “barter” yang
berlaku bagi perdagangan daerah Riau Daratan dengan daerah lain di
Indonesia, atau pun dengan luar negeri, dengan pengertian bahwa harus
ada jaminan sepenuhnya bahwa tidak akan dilakukan perdagangan “barter”
gelap dengan luar negeri, khususnya dengan “Malaysia”.
Jalan yang tepat untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungannya
kepada Singapura, Penang dan Malaya ialah seharusnya dengan memindahkan
pasaran bahan-bahan ekspor kita langsung ke Indonesia, dan bukan
memindahkannya ke negeri-negeri lain.
Akan tetapi memindahkan
pasaran ke Indonesia sekali-kali tidak boleh diartikan memindahkan
peranan Singapura-Malaya sebagai pusat perdagangan transito ke Indonesia, misalnya dengan menciptakan pelabuhan bebas, free trade zones dan bonded warehouse, sebab:
a. Barang-barang ekspor yang diperdagangkan dan menjadi problem
Indonesia adalah barang-barang yang dikuasai oleh Indonesia. Sekalipun
untuk sementara ada kesulitan dalam putusnya hubungan dengan
Singapura-Malaya tetapi perspektifnya baik sekali jika tindakan-tindakan
selanjutnya tepat. Bagi Singapura-Malaya merupakan satu kesulitan yang
sangat lama dan berat karena mereka tidak mendapat barang-barang lagi
dari Indonesia secara langsung.
b. Pelabuhan bebas dengan segala variasinya adalah pertanda daripada
kelemahan ekonomi negara-negara yang bersangkutan yang hanya hidup dari
pelayanan-pelayanan, yaitu melayani barang-barang kaum kapitalis
monopoli yang menghadapi kesulitan pasar. Untuk menarik
kapitalis-kapitalis asing diadakan pelayanan-pelayanan secara istimewa
dan menyeluruh seperti pelabuhan bank services night-clubs dan akibatnya ialah merajalelanya penyelundupan, gangster dan banditisme, pelacuran, mata-mata dan gerakan subversi asing.